Senin, 27 Februari 2012

KEBUDAYAAN - Topeng Betawi


Kesenian teater masyarakat Betawi, yang pertunjukannya hampir sama dengan lenong dan tumbuh di lingkungan masyarakat pinggiran Kota Jakarta. Kesenian Topeng Betawi ini terdiri atas Topeng Blantek dan Topeng Jantuk. Pertunjukkan topeng biasanya dimaksudkan sebagai kritik sosial atau untuk menyampaikan nasehat-nasehat tertentu kepada masyarakat lewat banyolan-banyolan yang halus dan lucu, agar tidak dirasakan sebagai suatu ejekan atau sindiran. Teater Topeng Betawi mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Karena tumbuhnya di daerah pinggiran Jakarta sehingga dipengaruhi oleh kesenian Sunda. Saat itu masyarakat Betawi mengenal topeng melalui pertunjukan ngamen keliling kampung.
Pada awalnya pementasan atau pertunjukan topeng tidak menggunakan panggung tetapi hanya tanah biasa dengan properti lampu minyak bercabang tiga dan gerobak kostum yang diletakkan di tengah arena. Tahun 1970-an baru dilakukan di atas panggung dengan properti sebuah meja dan dua buah kursi. Pertunjukkannya diiringi dengan tabuhan seperti rebabkromong tigagendang besarkulanterkempulkecrék dan gong buyung. Lagu yang dimainkan lagu Sunda Gunung namun khas daerah pinggir Jakarta seperti; Kang Aji, Enjat-enjatan, Ngelantang, atau Lipet Gandes. Dahulu terdapat sebutan bagi pecandu-pecandu Topeng Betawi yang ikut menari (ngibing) bersama Kembang Topeng, "buaya ngibing".

Para pemain Topeng Betawi sebagian memakai pakaian khusus sesuai dengan peranannya dan sebagian lainnya memakai pakaian biasa yang dipakai sehari-hari. Bagi para pemain laki-laki unsur pakaian yang harus ada biasanya, kemeja putih, baju hitam, kaos oblong, celana, sarung, peci atau tutup kepala, serta kedok. Sedangkan untuk wanita unsur yang ada biasanya kain panjang atau kain batik, kebaya, selendang, "mahkota" warna-warni yang terletak di kepala yang biasanya disebut "kembang topeng". Selain itu ada bagian hiasan yang disebut ampak-ampakandungtaka-taka, selendang (ampreng) yaitu semacam lidah pada bagian depan pinggang yang terbuat dari kain yang dihias, bagian ini biasanya di pakai oleh Topeng Kembang atau Ronggeng Topeng sebagai primadona tokoh yang menonjol. Sesuai dengan perannya, para pemain menggunakan pakaian yang khas.

Pertunjukan topeng Betawi dengan tarian lazim disebut tari topeng Betawi. Merupakan salah satu jenis tarian tradisional masyarakat Betawi yang disebut juga Ronggeng Topeng. Tari Topeng sendiri terdiri dari beberapa jenis tari, yaitu Tari Lipet Gandes (merupakan sebuah tari yang dijalin dengan nyanyian, lawakan dan kadang-kadang dengan sindiran-sindiran tajam menggigit tetapi lucu), Tari Topeng Tunggal, Tari Enjot-enjotan, Tari Gregot, Tari Topeng Cantik, Tari Topeng putri, Tari Topeng Ekspresi, Tari Kang Aji, dan lain-lain. Pada perkembangannya, muncul Tari Topeng kreasi baru seperti Tari Ngarojeng, Tari Dagor Amprok, dan Tari Gitek Balen.
Alat musik pengiring yang dipergunakan dalam pertunjukan ini adalah gendang besarkulanterrebabkeromong berpencon tigakecrékkempul dan Gong Buyung. Pada pertunjukannya, didahului dengan lagu-lagu instrumental, kemudian menyusul Tari Kedok, yaitu Tari Ronggeng Topeng yang menggunakan tiga buah kedok secara bergantian. Dahulu tarian ini dilakukan pada penutup acara, tetapi sekarang dijadikan acara pertama.
Pertunjukan kemudian dilanjutkan dengan Tari Kembang Topeng yang selanjutnya dibarengi bodor dengan diiringi lagu Aileu, Lipet Gandes, Enjot-enjotan dan lain sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan lakon pendek yang bersifat banyolan. DI antara banyolan-banyolan ini terdapat cerita Bapak Jantuk. Lakon-lakon pendek ini antara lain Benguk, Pucung, Lurah Karsih, Mursidin dari Pondok Pinang, Samiun Buang Anak, Murtasik, dan sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya, rombongan topeng juga membawakan lakon panjang untuk dimainkan semalam suntuk. Lakon panjang ini antara lain Jurjana, Dul Salam, Lurah Barni dari Rawa Katong, Asan Usin, Lurah Murja, Rojali AnemerKodok, Waru Doyong, Daan Dain, Kucing Item, Aki-aki Ganjen, dan sebagainya. Sebelum memulai pertunjukan Topeng, biasanya didahului dengan pembakaran kemenyan dan disediakan sesajén lengkap yang terdiri dari beras, kelapa muda, berbagai minuman, rujak tujuh macam, panggang ayam, telur ayam mentah, nasi dengan lauk-pauk, dan cerutu atau rokok.




TOPENG KALENG : NEGOSIASI SENI DAN INDUSTRI
Oleh : NENENG YANTI KH. M.Hum.

Selalu ada situasi kompleks, terkadang paradoks, antara industri dengan kesenian. Industri selalu terkait dengan proses ekonomi, ”capital value”, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara kesenian mengandaikan dirinya lekat dengan nilai-nilai estetika sebagai bentuk ekspresi manusia, jauh dari nilai-nilai komersialisasi. Kalaupun ada hal-hal yang berbau komersial, itu biasanya diberikan terkait dengan pencapaian estetika yang tinggi.
Akan tetapi, dalam kesenian tradisi bentuk penghargaan demikian hampir tidak ada. Industri yang identik dengan “kota dan modern” dan kesenian tradisi dengan citra “kampung dan tradisional” seolah-olah menjadi dua hal yang kontradiktif. Dalam kondisi demikian, menjadi menarik manakala melihat sebuah seni pertunjukan tradisi eksis di perkampungan yang berada di tengah-tengah kawasan perindustrian besar.
Kesenian itu adalah topeng kaleng atau dikenal juga dengan sebutan topeng budong, merujuk pada nama pemimpinnya, Budong. Kelompok kesenian ini bermarkas di sebuah kampung yang terletak persis di tengah-tengah Kawasan Industri Cikarang Bekasi. Di kawasan ini terdapat sejumlah kawasan industri besar, yang dikenal dengan sebutan segitiga emas, Jababeka-Lippo-Egyp. Tak jauh dari ketiga kawasan industri itu, selesai dibangun sebuah kawasan megah yang kabarnya akan dijadikan pusat pemerintahan, yaitu Cikarang Baru.
Persoalan desa-kota, modern-tradisional yang biasanya terpisahkan tegas secara geografis kini menempati wilayah yang sama: kesenian tradisi yang bermukim di wilayah industri. Situasi kompleks dan paradoks seperti yang disinggung di atas menjadi persoalan yang menyeruak ke permukaan. Ketimpangan sosial-ekonomi juga kultural menjadi hal tak terhindarkan dalam perindustrian yang mengambil tempat di tengah permukiman penduduk yang umumnya masih sederhana. Akan tetapi, seperti disinggung Franzt Fanon, dari ruang seperti inilah justru akan selalu muncul proses negosiasi bahkan resistensi dari masyarakat yang terpinggirkan, termarjinalkan, yang dalam hal ini oleh industrialisasi. Proses negosiasi akan terus berlangsung, antara majikan dan buruh, pribumi yang tersingkir dengan pendatang yang terus melaju mengambil semua peluang. Antara industri dan seni.
Ketika saya bersama beberapa teman menjejakkan kaki di daerah Cikarang Selatan antara tahun 2002-2003 untuk menyelusuri keberadaan topeng kaleng dalam rangka sebuah penelitian, ternyata tidak mudah menemukan kelompok ini. Ada beberapa alasan. Pertama, penamaan “topeng kaleng” yang cenderung asing, bahkan di kalangan seniman topeng Bekasi yang umumnya lebih mengenal topeng Bekasi yang bertradisi Betawi. Banyak di antara mereka yang tidak mengenal nama “topeng kaleng”. Dalam daftar resmi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bekasi ternyata nama yang tercantum adalah topeng budong untuk merujuk kelompok ini. Kedua, kecenderungan topeng ini yang berada di pinggiran, marjinal, sehingga komunitasnya memang terbatas. Hal penting yang bisa menjelaskan kondisi tersebut adalah bahwa terdapat tradisi yang berbeda antara topeng kaleng dengan topeng Bekasi. Perbedaan itu dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi sosio-kultural dan geografis masyarakat pemiliknya.
Topeng kaleng bermarkas di Kampung Tegal Luhur, Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang SelatanKabupaten Bekasi. Secara geografis, Cikarang Selatan adalah perbatasan antara Bekasi dengan Karawang, serta tak jauh dari Indramayu dan Subang. Hal itulah yang mempertegas kedekatan bahasa dan kultur di wilayah ini yang lebih dekat dengan ketiga daerah tersebut, yaitu bahasa Sunda dengan kultur pakaléran. Hal ini pula yang menyebabkan sebagian masyarakat Cikarang Selatan berbahasa Sunda dalam keseharian mereka. Sementara topeng Bekasi sendiri memang berakar pada tradisi Betawi sehingga menyerupai topeng Betawi. Bahkan, beberapa pelaku topeng Bekasi yakin bahwa mereka adalah pelopor dan akar dari topeng betawi.
Secara historis, nama “topeng kaleng” merujuk pada asal-muasal bahan dibuatnya peralatan topeng yang berasal dari kaleng, yang mereka sebut kaleng dencis (kaleng sarden(cis)) untuk gong dan saron. Dulu, semua jenis topeng menggunakan bahan yang sama. Baru kemudian diganti atau dimodifikasi dengan besi atau perunggu. Kelompok kesenian yang dipimpin Budong ini tetap mempertahankan nama “topeng kaleng” meski sudah tidak menggunakan peralatan dari kaleng dengan alasan adanya peruntungan dalam nama itu. Sebaliknya, ketika nama “kaleng” dihilangkan, topeng menjadi kurang laku atau tidak mendapat banyak undangan manggung. Maka, mereka pun mengusung nama Topeng Kaleng Mekar Budaya hingga saat ini.
Adanya kedekatan bahasa dan kultur topeng kaleng dengan wilayah-wilayah berbahasa dan kultur Sunda seperti dikemukakan di atas mempertegas keberadaan persebaran penikmat topeng kaleng adalah masyarakat yang berada di wilayah-wilayah ini. Mereka memiliki penikmat setia di sekitar Cikarang Selatan, Rengasdengklok (Karawang), Haurgeulis (Indramayu), dan Subang. Dari amatan yang telah dilakukan terhadap pertunjukan topeng kaleng, diperoleh kesimpulan bahwa jenis topeng ini menyerupai topeng banjet yang ada di Karawang. Atau bisa juga disebut variannya karena adanya beberapa perbedaan yang khas. Meski dalam urutan atau pakem permainan topeng sama, tetapi topeng kaleng lebih cair. Misalnya, dengan tidak adanya adegan tarian lipet gandes yang penarinya menggunakan topeng dan bunga, dan menggantinya dengan tari gaplek, sebuah tarian yang menyerupai goyang Karawang. Tarian ini, menurut pengakuan pemainnya, tidak memerlukan metode khusus untuk mempelajarinya karena bisa dengan mudah diikuti siapa saja. Tarian ini konon berasal dari gerakan kaum wanita yang tengah menumbuk padi.

Kejawaraan.
Ada banyak kesenian tradisi di tanah air yang melestarikan adegan-adegan jawara dalam pementasannya seperti reog, debus, dan kesenian topeng sendiri. Akan tetapi, ada hal yang agak berbeda dalam topeng kaleng ini. Kalau dalam kesenian topeng pada umumnya adegan kejawaraan merupakan adegan tertentu yang menjadi salah satu unsur dalam pertunjukan, dalam topeng kaleng hal itu dimunculkan secara khusus, dengan gerakan yang disebut igel. Permainan golok dan gerakan-gerakan silat lain dipertunjukkan secara dominan dan atraktif. Selain ditampilkan secara khusus dalam bentuk seni pencak silat, aksi dan berbagai atribut kejawaraan juga selalu muncul dalam setiap cerita yang ditampilkan. Hal ini kemudian dimaknai sebagai simbol identitas mereka di luar kesenian. Adegan kejawaraan yang muncul di setiap pertunjukan dikaitkan dengan keberadaan dan profesi mereka di luar kesenian.
Amatan secara sosiologis menemukan relevansi yang menarik dengan kondisi tersebut. Hampir semua pemain topeng kaleng terlibat secara langsung dalam industri. Kebanyakan mereka adalah buruh-buruh pabrik (pemain perempuan) dan petugas keamanan (pemain laki-laki) di pabrik. Beberapa dari mereka memegang posisi penting sebagai koordinator keamanan. Pak Budong sendiri, pemimpin topeng kaleng, adalah pimpinan sebuah organisasi yang menamakan diri Ikapud (ikatan putra daerah), sebuah organisasi yang menaungi para pekerja di bidang keamanan di Bekasi, khususnya di kawasan industri tersebut. Bahkan, beberapa pemain senior terjun langsung dalam bisnis limbah dengan omzet puluhan juta. Beberapa dari mereka hidup sangat mapan untuk ukuran seniman topeng pada umumnya. Profesi petugas keamanan menjadi penting karena secara tidak langsung terkait dengan kelancaran proses produksi di pabrik. Mereka menjadi “juru kunci” bagi lancarnya proses industrialisasi.
Sebaliknya, kalangan industri lebih memandang kelompok ini secara negatif dengan melabeli “preman” yang identik dengan orang yang sering bikin onar dan kerjanya minta uang. Tetapi, kelompok ini justru menyebut julukan “preman” untuk orang lain, bukan diri mereka, untuk orang yang mencari uang dengan jalan pintas, seenaknya, tanpa usaha, sedangkan mereka mengaku bekerja dengan semestinya.

Proses negosiasi.
Lepas dari adanya perbedaan sudut pandang dan kepentingan antara kalangan industri dengan kelompok ini dalam memandang status dan eksistensi mereka, hal menarik yang patut dicermati dari posisi dan kiprah mereka dalam kesenian dan industri sekaligus adalah adanya sebentuk proses negosiasi terus-menerus di hadapan industri yang kerap berlaku kejam dan memarjinalkan kesenian tradisi maupun masyarakat pemiliknya.
Di sini, kepentingan-kepentingan ekonomi berebut dengan kepentingan melestarikan kesenian dan menghibur masyarakat. Menurut pengakuan beberapa pemain senior, kesenian yang mereka geluti justru semacam pengikat secara kultural atau semacam simbol perekat dari berbagai konflik yang mereka hadapi secara sosial. Berkesenian adalah prioritas utama mereka, sedangkan kerja di pabrik nomor dua. Alasannya, kesenian yang mereka geluti menjadi semacam “jalan” atas kemapanan ekonomi yang mereka peroleh saat ini. Mereka telah berkesenian sejak “belum punya apa-apa” dan setelah mereka berhasil “masuk” ke dalam industri maka kesenian itu harus tetap mereka lakoni sebagai “simbol pemersatu” agar kacang tidak lupa pada kulitnya.
Lebih baik bolos kerja daripada bolos main topeng, begitu prinsip mereka. Padahal, pertunjukan topeng dilakukan malam hingga pagi hari sehingga dalam kondisi terkantuk-kantuk mereka bekerja di pabrik. Bila mereka meninggalkan kesenian maka akan berdampak buruk bagi kehidupan mereka, begitu keyakinan mereka.
Kemampuan bernegosiasi itu berjalan seiring dengan keberhasilan mereka memasuki industri dengan mengambil porsi pekerjaan yang dapat mereka lakukan. Terlepas dari bagaimana proses negosiasi itu dilakukan, mereka berhasil eksis di tengah-tengah industri.
Persaingan ketat dalam gelora kapitalisme membawa pelakunya berprinsip mirip hukum rimba. Yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah. Demikianlah industri. Dan kesenian masih ada tempat di sana. Meski untuk itu sikap ambigu tak terhindarkan.

Penulis, Staf pengajar STSI Bandung. Sumber PR.




TOPENG BEKASI : OH, NASIBMU

Sejumlah seniman yang tergabung dalam grup-grup kesenian tradisional Tari Topeng di Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, kini mengeluhkan sepinya undangan tampil dalam acara perkawinan, khitanan, atau kaulan (nadar), yang biasa dilakukan warga Bekasi. Kondisi ini terutama disebabkan berubahnya selera masyarakat yang lebih suka nanggap orkes musik atau organ tunggal yang menyajikan lagu-lagu dangdut.
Nemon (40), yang memimpin Grup Topeng Sumber Harta di Desa CijengkolKecamatan Setu, menuturkan, saat ini grupnya lebih banyak menganggur. "Kalau ada warga yang punya hajatan kawinan, mereka lebih suka nanggap orkes dangdut. Alasannya, lebih meriah dan sawerannya banyak karena warga yang datang juga banyak," katanya. Persaingan antara grup Tari Topeng dan orkes dangdut mulai dirasakan sejak tahun 2000. Sebelumnya, sejak krisis tahun 1997-1998, permintaan tanggapan diakui mulai turun. "Waktu itu masih ada lima kali sebulan. Tapi sekarang, sekali sebulan saja sudah syukur," kata Nemon. Nemon mengaku tidak berkutik menghadapi persaingan keras dari grup-grup dangdut dan organ tunggal yang mewakili budaya pop merambah ke desa-desa. Sekarang ini, untuk membayar pemain saja Nemon mengaku harus menjual kambingnya. Sepinya tanggapan membuat persaingan di antara grup-grup tari topeng semakin ketat. Sebab, di Kecamatan Setu saja ada sekitar 10 grup. Setiap grup terdiri dari sembilan orang atau lebih yang dibayar Rp 25.000- Rp 60.000 setiap kali tampil. Atau, biaya tanggapan berkisar antara Rp 1,5 juta-Rp 2,5 juta.
ARIM (60), yang memimpin grup Sari Mekar di Desa Burangkeng, dengan pahit menyatakan terpaksa beralih profesi karena tari topeng tak lagi mampu menjadi gantungan hidup. Seniman yang menggeluti tari topeng sejak 1970-an itu sudah memodifikasi tariannya dengan jaipongan, tetapi tetap saja kalah bersaing. Akhirnya, ia kini merintis usaha penyewaan perlengkapan hajatan seperti tenda, kursi dan peralatan makan. "Saya juga menawarkan satu paket dengan Tari Topeng, tapi jarang lakunya. Sekarang, paling tampil dua kali sebulan," kata Arim sambil tertawa.
Tarian Topeng merupakan kesenian Bekasi yang biasanya dimainkan untuk memeriahkan acara perkawinan, khitanan, dan kaulan. Dalam gelarannya, tari topeng dilengkapi juga drama komedi atau lawak tentang kehidupan masyarakat kecil di Bekasi.
Tarian Topeng diiringi musik yang terdiri dari lima jenis alat musik yaitu kendang, rebab, gong, kenong tiga, dan kecrék. Namun, dewasa ini, iringan musik topeng bertambah dengan alat musik lain seperti salendro, saron, bende, dan terompet, sebagai akibat dari pengaruh budaya Betawi dan Sunda.
Pemerhati kesenian tradisional Bekasi, Anwar Marzuki, meminta pemerintah setempat membina seniman tradisional agar mereka tetap jadi aset daerah. Salah satunya dengan menyediakan lokasi untuk tampil secara bergantian. (Kompas Online).

BETAWI BEKASI BERSATU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar