Selasa, 28 Februari 2012

GADO-GADO - Seroja


Di salah satu sudut kota Bekasi, tepatnya di Wisma Seroja Bekasi Utara tinggal sekelompok orang yang memiliki satu kesamaan. Pejuang Seroja, itulah sebutan yang melekat pada diri mereka. Perintah untuk membantu rakyat Timor Timur menghadapi pemberontak Fretelin yang membuat mereka disebut demikian. Selamat dari maut yang menjemput kala perang merupakan karunia yang harus disyukuri. Namun, kecacatan kadang tidak terelakkan akibat peluru-peluru yang mengincarnya. Hidup dengan kondisi cacat sedikit banyak menghalangi produktivitas. Apalagi jika cacatnya parah, seratus persen hidupnya tergantung pada keluarga. Sedikit menghargai perjuangan, Yayasan Dharmais menghibahkan rumah sebagai tempat bernaung bagi mereka dan keluarganya.
Nama buah-buahan membagi perumahan bernama Wisma Seroja menjadi beberapa jalan. Di salah satu jalan, tinggal salah satu pejuang bernama Suwarno, seorang pria berkumis, duduk di teras rumahnya yang bercat warna hijau. Hari yang menjelang siang membuatnya hanya memakai kaos singlet dan sarung. Sebuah tongkat bersandar di tangan kirinya. Tongkat yang bersandar itu menemani kesehariannya di rumah. Perlawanannya menghadapi Fretelin membuat kaki kanannya harus diamputasi sebatas lutut. Kedua matanya juga sempat tidak bisa melihat selama dua bulan. "Saya kira, saya akan buta". Kenangnya. Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Rasa nyeri masih menggerogoti persendiannya pasca-operasi. Di beberapa tempat timbul benjolan akibat banyak minum obat. Benjolan itu terasa sakit dan sifatnya kambuhan. Saran untuk ke pengobatan alternatif dengan meminum ramuan membuat nyeri sakitnya berkurang.
Hari-hari sebelum mempensiunkan diri dilalui Suwarno dengan bekerja. Buntung kakinya tidak menghalangi untuk berkarya. Sebagai koordinator terminal bus, pekerjaannya tidak membutuhkan banyak gerakan fisik. Letak terminal yang ada di bagian depan Perumahan Seroja juga membuat aksesnya mudah. Perannya yang juga menertibkan keamanan di terminal membuatnya dekat dengan pihak polisi. "Teman polisi menyebut saya dengan Pak De Warno", ungkapnya tentang kedekatannya dengan polisi.
Dari pekerjaannya itu, ia masih bisa menyumbangkan penghasilan untuk keluarganya. Istrinya juga turut membantu keuangan keluarga dengan mengerjakan orderan merakit korek api. Sekitar Rp. 300.000 per bulan tambahan penghasilan mereka peroleh dari orderan itu. Sekarang, orderan itulah yang menjadi tumpuan hidup keluarga karena Suwarno tidak lagi bekerja di terminal. Ia mempensiunkan diri mengingat kondisi fisiknya yang semakin melemah. Tinggalnya salah satu anak yang telah berkeluarga dengannya sedikit menjadi pelipur untuk melewati hari-hari. Sebagai pejuang seroja yang ikut mempertahankan keutuhan Timor-Timur, Bapak beranak dua ini sangat kecewa terhadap lepasnya daerah itu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Menyesal sekali, nyeselnya nggak terhingga lagi. Sebenarnya masyarakat sana masih pro-Indonesia", komentarnya. Walaupun demikian, ia tidak menyalahkan siapa-siapa dengan kehilangan salah satu kakinya. "Ini sudah merupakan tugas dan sumpah prajurit", kata Bapak yang badannya masih tegap ini.
Perasaan kehilangan yang mendalam dengan lepasnya Timor Timur juga dialami teman seperjuangan Suwarno, Bambang Sukarto. Masih terlihat jelas emosinya jika mengingat perjuangan itu. Hasil perjuangannya dilepas begitu saja. Siapa pun mungkin akan mempunyai perasaan yang sama dengannya. Tidak heran jika waktu itu warga Wisma Seroja berdemonstrasi menentang lepasnya Timor Timur dari NKRI. Mereka benar-benar tidak rela wilayah yang sudah mereka pertahankan dan diperjuangkan dengan mengorbankan nyawa lepas begitu saja. Namun, tidak banyak yang dapat mereka lakukan karena opsi yang ditawarkan oleh pemerintah kepada rakyat Timor Timur secara terbuka menghasilkan kenyataan yang sangat pahit.
Pahit-getirnya perjuangan juga telah dialami Bapak yang sudah berumur 71 tahun ini. Ia turut andil dalam menumpas beberapa pemberontakan daerah dan PKI sebelum berjuang di Timor Timur. Di operasi Seroja-lah, kakinya kena tembak. Akibatnya, ia menjalani hidupnya dengan kondisi kaki pincang. Namun, itu masih patut disyukuri dibandingkan teman lain yang cacatnya lebih parah, bahkan ada yang pulang tinggal nama meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Sebagai seorang pejuang yang pernah membela negeri ini, ia mengkritisi pemerintahan orde reformasi. Penerusnya tidak lagi memperhatikan nasib para pejuang Seroja. "Zaman sekarang ini sudah sangat berbeda pada waktu dulu. Sekarang ini kami hanya sampah masyarakat. Habis manis sepah dibuang", ungkapnya dengan kesal. Sekadar diundang pada saat ada peringatan yang berhubungan dengan hari-hari pahlawan merupakan salah pengobat kesedihan mereka.
Setelah pensiun, hari-harinya dilewatkan di rumah. Namun, seorang Bambang masih diperlukan peranannya. Ia masih bersedia mengurus urusan administrasi teman-teman seperjuangannya. Dengan berbekal sepeda motor, dirinya pulang-pergi ke kantor veteran pusat. Pekerjaan itu ia lakukan hampir setiap minggu. Namun, sebagian besar waktunya ia lewatkan berdua di rumah dengan istri tercinta. Keenam anaknya sudah mandiri dengan membangun rumah tangga masing-masing. Relakan kepergian apa yang kita punya. Ini akan membuat hati jauh lebih lapang dan ringan.

Operasi Seroja.
Seroja. Nama bunga yang indah itu dijadikan nama sandi operasi militer Indonesia di Timtim, menggantikan operasi intelijen bersandi Umi Tuti dan Komodo yang sebelumnya berlangsung secara politis. Timor Timur, wilayah seluas 14 ribu kilometer persegi itu, menjadi perhatian dunia karena nyaris tak pernah sepi dari konflik sejak 25 April 1974. Partai besar berkuasa Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (Fretilin) yang berhaluan komunis, makin menarik perhatian Barat. Maka Amerika Serikat dan sekutunya pun merasa berkepentingan dengan Timtim untuk membendung laju komunisme di kawasan Asia Tenggara.
Beberapa perwakilan Barat merapat ke Indonesia. Perdana Menteri Australia Gough Whitlam pun menemui Presiden Soeharto. Dua pemimpin itu bertemu di sebuah wisma di lereng Dieng yang sejuk di Wonosobo, Jawa Tengah, (5 hingga 7 September 1974). Pertemuan itu pun berlanjut di Townsville, Australia tujuh bulan kemudian, 3 sampai 5 April 1975. Bukan hanya PM Australia saja yang bertemu dengan Presiden Soeharto. Presiden AS Gerald Ford dan Menlu Henry Kissinger pada tahun yang sama datang pula ke Istana Negara Jakarta. Kunjungan kepala negara adikuasa itu seolah menjadi pertanda dukungan untuk Indonesia melakukan infiltrasi ke Timtim.
Maka Operasi Seroja pun digelar. Operasi militer itu dimulai 7 Desember 1975 dengan dibantu para pendukung partai Uniao Democratica de Timor (UDT), Associacao Popular (APODETI), Klibur Oan Timur Aswain (KOTA) dan Partido Trabalista. Target pertama koalisi ABRI dan para pendukung dari partai-partai lokal itu, merebut dan menduduki kota-kota besar di Timtim yang dikuasai Fretilin. Operasi berhasil, meski memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Ribuan orang mengungsi ke perbatasan Timor Barat. Sementara Fretilin dan para simpatisannya lari ke gunung dan hutan. Timtim akhirnya bergabung dengan Indonesia, Sabtu 17 Juli 1976 melalui UU No 7/1976, sekaligus mengukuhkan bumi Timor Lorosae menjadi wilayah provinsi ke-27 di NKRI.
Gejolak sosial politik di Timtim, rupanya tak pernah berhenti. Hingga akhirnya 23 tahun kemudian, Timtim lepas dari NKRI melalui proses referendum 1999. Sejak awal proses infiltrasi dan penggabungan Timtim 1975 hingga lepasnya Bumi Timor Lorosae 1999 yang diwarnai dengan gejolak berdarah, telah menelan korban jiwa nyaris tak terhitung lagi. Menurut buku "Timor Timur Dulu dan Sekarang", terbitan Solidamor (September, 1998), pertikaian di Timtim telah merenggut korban 200 ribu jiwa rakyat Timor Timur dan 10 ribu personil ABRI. Bukan hanya itu, sekitar 60 ribu orang menjadi pengungsi di berbagai kawasan Timor BaratAtambua dan sekitarnya.

Rumah Veteran Belum Memadai Untuk Ditempati.
Minggu, 25 Juli 2010

Pemerintah telah memberi fasilitas berupa rumah kepada para pejuang veteran Seroja yang tinggal di komplek perumahan Seroja, Bekasi Utara, Kota Bekasi. Namun hingga kini rumah pemberian itu belum ditempati sebagian besar para pejuang Timor-Timur itu.
Menurut Sukoro (55), Ketua Yayasan Veteran - Seroja Timor-Timur, bahwa baru-baru ini pemerintah Indonesia menyerahkan rumah bagi 150 veteran yang tinggal di komplek Seroja. 150 rumah tersebut terletak di Desa Singosari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor.
"Rata-rata tipe 22, namun hingga kini belum ditempati karena fasilitas listriknya belum memadai" ungkap Sukoro. Sudah hampir 3 bulan rumah pembagian untuk veteran tersebut diberikan. Namun selama itu pula belum ditempati. Pemberian rumah ini dalam bentuk uang muka gratis dari ASABRI (Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dengan cicilan sekitar Rp 411.000,-, sedangkan dari 550 veteran lainnya yang tinggal di Seroja menurut Sukoro, juga sudah diberikan rumah tinggal di perumahan yang tersebar di sekitar wilayah Bekasi.
"Saya berharap pemerintah segera memberikan fasilitas yang layak, mulai dari listrik dan fasilitas jalannya. Begitu pula saya himbau anggota veteran untuk segera pindah jika semua fasilitas sudah dipenuhi”. Ujar Sukoro.

Secuil Kepahitan Veteran Seroja.
Perang selalu menyisakan kepahitan bagi kedua pihak yang bertikai. Luka di hati para serdadu dan keluarga kerap bernanah setiap mengenang tragedi memilukan itu. Wajar jika veteran Seroja entah yang telah gugur maupun cacat seumur hidup tak bisa begitu saja menerima Timor Timur sebagai Timor Leste, negara merdeka dan berdaulat di era milenium ini.
Ratusan bekas tentara yang dikirim dalam Operasi Seroja di Timtim sekitar 1975-1984 galau di tengah kegembiraan sekitar 220 ribu rakyat Timor Leste merayakan Deklarasi Kemerdekaan Timor Leste, 20 Mei 2002. Wisma Seroja menjadi bukti sejarah yang memilukan antara Indonesia dengan bekas provinsi ke-27 itu. Di perumahan di wilayah Bekasi, Jawa Barat, itulah 104 purnawirawan penyandang cacat menetap dan menghabiskan sisa hari mereka. Ratusan warakawuri atau janda prajurit yang meninggal dalam tugas juga berdiam di kawasan Pondok Ungu, Bekasi Utara, itu.
Kopral Kepala (purnawirawan) TNI Made Narsin misalnya. Sepintas tak ada yang aneh dari penampilan fisik pria bertubuh tegap ini. Padahal, dia mengenakan kaki kiri palsu. Setiap hari Made mengawali harinya dengan jalan mengitari wisma tanpa alas kaki, kecuali sepatu yang selalu melekat di kaki palsu sebelah kirinya. Pria berkumis ini mengaku sudah terbiasa berjalan kaki berkeliling hingga satu jam. Veteran asal Bali ini dikirim ke Timtim sekitar 1978. Tak banyak tempat yang diingat. Sebab, dia sering berpindah-pindah. Tapi, kenangan tentang Kota Liquisa tak mungkin terlupakan. Kala itu dia berpangkat prajurit satu. Nahas, dalam sebuah patroli di luar Kota LiquisaMade terkena ranjau yang ditanam di sebuah jalan setapak. Jalan hidup tentara pembawa bren ini sontak berubah. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan Made kecuali berdamai dengan nasib.
Setelah menjalani terapi di Pusat Rehabilitasi Cacat di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, bekas anggota Batalyon 742 Lombok ini mengambil kursus perbaikan alat-alat elektronik. Kini, dia menghidupi keluarganya dengan membuka reparasi kulkas, kipas angin, dan pendingin ruangan (AC) di rumah yang di tempati sejak 1985.
Lain lagi dengan Saidin Isa. Pria sepuh ini kehilangan kedua kakinya dalam pertempuran dengan Fretilin, 25 tahun silam. Bahkan, sejak sepuluh tahun dia tidak sanggup berkomunikasi karena depresi.

Sepuluh tahun sudah Timor Timur lepas dari NKRI. Bagi generasi sekarang, barangkali cerita tentang Timtim hanya seperti tuturan kilasan sejarah kelam tanpa roh dan hanya untuk sekadar dongeng sebelum tidur bagi anak cucu. Tapi bagi mereka, para pelaku sejarah dan keluarganya, cerita tentang Timtim adalah cerita besar yang memunculkan kebanggaan sekaligus mengenang kepedihan. Yang pasti, kesegaran bunga Seroja memang tak pernah layu, meski politik dan kekuasaan telah melupakannya jauh di belakang, di dalam ruang masa lalu. Hanya catatan sejarah yang tak akan pernah menghapuskan spiritual perjuangan itu. Semangat berapi-api itu selalu tampak, setiap kali kita bertemu dan ngobrol dengan para veteran Seroja. Tak ada sakit hati dan tak ada dendam pada masa lalu.
Veteran Operasi Seroja Timor Timur meminta pemerintah memberikan hak kepada mereka sebagai veteran. Permintaan itu disampaikan dalam audiensi dengan Wakil Presiden Hamzah Haz di Istana Wakil Presiden, Jakarta. Soekoro, salah seorang veteran operasi itu, mengatakan, selama ini pihaknya belum diakui undang-undang. Dia menjelaskan, menurut UU No. 7/1967 mereka yang disebut veteran perang hanyalah yang pernah berjuang pada 1945Operasi Trikora dan Operasi Dwikora.
Dia khawatir apabila veteran Seroja tidak diakomodasi dalam sebuah perundang-undangan akan terjadi pemelintiran sejarah. "Kami bukan lagi dianggap veteran, tapi penjahat perang," kata Ketua Ranting Khusus Pejuang Seroja Bekasi itu. Selain itu, menurut Soekoro, selama ini veteran Operasi Seroja 1975 itu belum mendapat perlakuan yang layak sebagai pejuang. Dia mencontohkan selama ini apabila ada veteran yang meninggal, mulai dari tempat sampai biaya diurus sendiri. "Dan tidak ada upacara militer," kata purnawiran TNI AD dengan pangkat akhir Sersan Mayor ini.

(Dari Berbagai Sumber).


BETAWI BEKASI BERSATU

Senin, 27 Februari 2012

GADO-GADO - Golok Pontang


Bekasi, 01 Desember 2011.

“Kampung Cabang Dua, tak jauh dari Perbatasan Bekasi dan Karawang”.

Masa itu, Kampung Cabang Dua letaknya agak terisolir dari kampung-kampung lain di sekitarnya. Jumlah penduduknya tak lebih dari tiga puluh orang. Untuk menuju kampung itu, selain medannya yang sulit, juga harus melewati hamparan sawah dan rawa-rawa yang luas di kiri-kanan jalan. Jangankan malam hari, di siang haripun orang akan berpikir jauh lagi bila harus pergi ke kampung itu, itupun jika bukan karena keperluan yang sangat penting. Malam itu, salah satu penduduk melangsungkan acara keriaan perkawinan putra-putrinya. Hiburan yang ditampilkan seperti biasa adalah jaipongan. Walaupun hiburan itu adalah hiburan yang paling mengundang pada masa itu, tetap saja tak banyak tamu yang datang. Selain penduduk setempat, hanya kerabat dari yang punya hajat saja yang hadir. Itupun karena mereka beserta keluarganya memang sengaja tinggal dan menginap karena jarak yang tak memungkinkan untuk ditempuh secara pulang-pergi. Pertunjukan jaipongan terus berlanjut. Sesekali para juru tembang memanggil nama tuan rumah dan para tamu di antara syair tembang-tembang yang dinyanyikan. Beberapa orantampak mengelilingi tempat para pemain jaipongan itu bermain. Sekedar untuk menikmati lebih dekat dan memberikan saweran bila mereka menyukai tembang yang dibawakan.

Illustrasi : Seorang Juwara dengan menyoren Golok Pontang
Saat malam kian larut, salah seorang penonton mengajukan permintaan lagu yang berjudul “Geboy”. Permintaanpun kemudian dituruti dan tembang mulai dilantunkan. Entah sejak kapan dan dari mana datangnya, di bagian depan pentas, yang semula hanya hamparan jerami kosong, mulai tampaorang-orang lelaki berdatangan. Satu-persatu mereka mengisi tempat yang kosong itu hingga dalam waktu singkat tempat itu kini sudah penuh dengan sosok para lelaki tersebut. Jumlah mereka mungkin puluhan atau mungkin ratusan, jauh lebih banyak dari orang-orang yang sebelumnya hadir di tempat itu, bahkan lebih banyak dari penduduk kampung itu sendiri ! melihat kehadiran orang-orang ini, perlahan, orang-orang yang sejak tadi berada di dekat pentas, mundur teratur dan pergi menuju kediaman tuan rumah. Lebih tepat lagi, semua orang yang sudah hadir sebelumnya, kini semua berkumpul di rumah pemilik hajat. Duduk diam. Mengawasi dari kejauhan. Tembang terus mengalun. Para lelaki yang baru datang ini perlahan mulai beraksi. Satu persatu dari mereka bergantian tampil di depan pentas. Menunjukkan kemampuan silat mereka masing-masing. Bila diperhatikan, kecuali sosok dan wajah, mereka semua hampir terlihat sama. Dengan ikat kepala, baju dan celana pangsi berwarna hitam, dan yang paling unik, golok yang terselip di balik ikat pinggang mereka semua sama… “golok pontang” !! golok yang bergagang khas, dengan warna hitam lalu warna putih (belang), dari ujung sampai ke pangkalnya. Konon, hanya orang tertentu yang bisa memiliki golok semacam itu. Bila dari bahan material, mungkin tidak sulit untuk dicari. Mungkin hanya etika dan batasan-batasan khusus dari orang-orang yang “tahu” yang membuat golok itu terkesan khas dan “tidak secara sembarangan” dimiliki. Itulah sebabnya dikatakan bahwa hanya orang tertentu yang bisa memilikinya. Bila usai tembang tersebut dinyanyikan, maka, seperti cara datangnya, satu-persatu para lelaki itu pun mulai beranjak pergi. Hingga kemudian tak tersisa sama sekali. Dan seperti semula, hamparan jerami itu pun menjadi kosong kembali…………
BETAWI BEKASI BERSATU 011211

TOKOH - KH. Noer Alie


Bekasi, 14 Nopember 2011.

K.H. NOER ALIE(berbagi tautan ke alamat lain).


BETAWI BEKASI BERSATU

SEJARAH - Sejarah Bekasi


SEJARAH BEKASI
Bekasi, 11 Nopember 2011.

Bekasi   : Puspa Ragam Sejarah
Oleh      : M.A Supratman (Orang Bekasi yang lahir di Indramayu)

Pengantar Tulisan
…menyuguhkan tulisan tentang sejarah suatu kota tanpa dibatasi kurun waktu, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, karena jika terlalu panjang, orang berfikir, yaa…baca saja Buku Sejarah resmi yang diterbitkan oleh Pemda bersangkutan, jika pendek, bagian mana yang harus dimuat, yang harus ditonjolkan, karena ini akan berhubungan dengan masa/waktu, pelbagai kepentingan, tujuan, gaya dan selera penulisan, maka tulisan ini’pun terbatas hanya sampai pada terbentuknya Kab Bekasi, dan inilah, puspa ragam sejarah Bekasi, disarikan dari buku “Sejarah Bekasi” terbitan Kantor Arpuslahta dan LPPM Unisma (2002), tanpa bermaksud mengecilkan peranan suatu tokoh, kelompok atau suatu masa perjuangan, tulisan ini semata-mata ingin mengenang, membangkitkan jiwa patriotisme dan kebanggaan heroisme (jika bisa..) kepada orang Bekasi, khususnya kawula muda Bekasi atau orang yang mengaku berjiwa Bekasi, seperti pesan pejuang Bekasi yang “ditangkap” oleh Chairil Anwar dalam satu kuplet “Krawang – Bekasi” …
Kenang-kenanglah kami,
Terus, teruskan djiwa kami
Teruskanlah perjuangan kami…
Bekasi, Masa Kerajaan…

Penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno). Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalannya kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.

Candrabhaga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri sejak abad ke 5 Masehi. Ada 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni : Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke enam prasasti ini ada di Daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah Munjul, Pandeglang, Banten (Prasasti Cidangiang) (BBB).

Diduga bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, berbunyi : ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir hingga ke laut, bahkan kali ini mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang indah dan berair jernih, “Gomati” namanya. Setelah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman Yang Mulia Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yaitu pada tanggal 8 paro petang bulan phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Jadi, selesai hanya 21 hari saja. Panjang hasil galian kali itu mencapai 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan yang dipimpin oleh para Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…). Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman untuk menggali kali Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi sawah dan menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan Tarumanagara.

Setelah kerajaan Tarumanagara runtuh – Kami lebih suka menyebutnya “berakhir” (BBB) - (abad 7), kerajaan yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap Bekasi adalah Kerajaan Padjadjaran, terlihat dari situs sejarah Batu Tulis (di daerah Bogor), Sutarga lebih jauh menjelaskan, bahwa Bekasi merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Padjadjaran dan merupakan salah satu pelabuhan sungai yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Bekasi menjadi kota yang sangat penting bagi Padjadjaran, selanjutnya menjelaskan bahwa: “..Pakuan adalah Ibukota Kerajaan Padjadjaran yang baru. Proses perpindahan ini didasarkan atas pertimbangan geopolitik dan strategi militer. Sebab, jalur sepanjang Pakuan banyak dilalui aliran sungai besar yakni sungai Ciliwung dan Cisadane. Oleh sebab itu, kota-kota pelabuhan yang ramai ketika itu akan mudah terkontrol dengan baik seperti Bekasi, Karawang, Kelapa, Tanggerang dan Mahaten atau Banten Sorasoan…”

Demikianlah, waktu berlalu, kerajaan-demi kerajaan tumbuh, berkembang, mengalami masa kejayaan, runtuh, timbul kerajaan baru. Kedudukan Bekasi tetap menempati posisi strategis dan tercatat dalam sejarah masing-masing kerajaan (terakhir tercatat dalam sejarah, kerajaan yang menguasai Bekasi adalah Kerajaan Sumedanglarang, yang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram). Bahkan bukti-bukti mengenai keberadaan kerajaan ini sampai sekarang masih ada, misalnya : ditemukannya makam Wangsawidjaja dan Ratu Mayangsari (batu nisan), makam Wijayakusumah serta sumur mandinya yang terdapat di kampung Ciketing, Desa Mustika Jaya, Bantargebang. Dimana baik batu nisan maupun kondisi sumur serta bebatuan sekitarnya, menunjukkan bahwa usianya parallel dengan masa Kerajaan Sumedanglarang. Demikian pula penemuan rantai di Kobak Rante, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukakarya (konon katanya, daerah Kobak Rante adalah daerah pinggir sungai yang cukup besar, hingga mampu dilayari kapal. Jalur ini sering digunakan patroli kapal dari Sumedanglarang. Suatu waktu, kapal bernama Terong peot terdampar disana, sungai mengalami pendangkalan, Terongpeot tidak bisa berlayar, kayunya menjadi lapuk dan tinggallah rantainya saja…)

Bekasi, masa pendudukan Belanda

Melihat sejarah Bekasi pada masa pendudukan Belanda, hampir sama dengan melihat sejarah Indonesia secara umum, karena letaknya berdekatan dengan Jakarta, maka sejarah Jakarta, dari Jayakarta, Batavia, Sunda Kalapa, sampai dengan Jakarta yang kita kenal sekarang melekat erat dengan Bekasi.

Tahun 1610, saat Pangeran Jayakarta Wijayakrama mulai melakukan perjanjian dagang dengan VOC (Verenigde Oost-indische Compagnie/semacam Kamar Dagang Belanda), yang empat tahun kemudian (1614), Gubernur Jendralnya (Van Reijnst) mendapatkan ijin mendirikan benteng di sebelah utara keraton. Tahun 1618, Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen memperluas benteng hingga menjadi bangunan yang kokoh, berbentuk segi empat dimana disetiap sudutnya, ditempatkan meriam yang mengarah ke keraton. Tindakan provokasi dan mengancam ini, menimbulkan amarah Pangeran Jayakarta, yang kemudian menyerang benteng ini. Serangan ini ternyata sudah ditunggu oleh VOC, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Pangeran Jayakarta dengan VOC (April-Mei 1619). Dan sejarah Indonesia mencatat, inilah awal bangsa Belanda (VOC dan kemudian digantikan langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda) mulai menancapkan kuku penjajahannya dibumi Indonesia.

Setelah menguasai Jayakarta/Batavia (1619), Belanda berusaha memperluas daerah kekuasaannya ke Kerajaan Mataram, karena Raja Mataram mempunyai pengaruh yang sangat besar di Pulau Jawa, upaya ini menimbulkan kemarahan Sultan Agung Hanyorokokusumo.

Pada tahun 1628, Sultan mengerahkan 2 bergodo (setingkat Brigade) angkatan lautnya untuk menyerang Batavia, yang dipimpin oleh Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, serta dibantu oleh Tumenggung Mandureja dan Tumenggung Upasanta. Penyerangan besar-besaran ini dilakukan setelah pasukan Mataram pimpinan Kyai Rangga (Tumenggung Tegal) gagal menguasai Banten pada April 1628. Tumenggung Baureksa membawa 50 perahu perang yang dilengkapi persediaan beras, padi, kelapa, gula dan pelbagai keperluan hidup sehari-hari. Namun, karena jarak dan waktu yang lama, serangan ini dapat digagalkan Belanda karena kalah persenjataan dan kekurangan pasokan logistik pasukan.

Walaupun mengalami kekalahan telak, pasukan Mataram tidak mengendurkan niatnya untuk melakukan penyerangan kembali. Gelombang kedua, pasukan Mataram berangkat ke Batavia pada pertengahan Mei 1629. 20 Juni 1629, pasukan infantri yang dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, Kyai Adipati Purbaya dan Kyai Adipati Puger yang juga dibantu oleh Tumenggung Singaranu, Raden Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan Kyai Sumenep, menyerbu Batavia. Sebelumnya pasukan Mataram telah disiapkan matang dan jauh sebelum gerakan ofensif dilakukan. Sepanjang rute perjalanan ke arah Batavia sudah dikirim terlebih dulu para punggawa yang bertugas menyediakan suplai logistik pasukan. Sejarah mencatat daerah suplai logistik pasukan Mataram berada disekitar wilayah Tegal, Cirebon, Indramayu, Karawang dan Bekasi (base camp di Bekasi berada di daerah Babelan).
Batavia dikepung dari segala penjuru, pasukan Mataram yang pulang dari Banten ikut menutup Batavia dari arah Barat (Kyai Rangga), tetapi sejarah kemudian mencatat bahwa walaupun dikepung dari segala penjuru ternyata Belanda dapat mempertahankan Batavia bahkan dapat memaksa mundur pasukan Mataram ke daerah pedalaman. Kegagalan ini, menyebabkan sebagian besar pasukan Mataram memilih untuk tidak kembali ke Mataram, karena Sultan Agung sudah menurunkan titah bahwa “…akan membunuh (dipenggal kepalanya) pasukan yang gagal melakukan penyerangan, bila kembali ke Mataram..”. Pasukan Mataram ini, kemudian menetap di wilayah Bekasi dan membaur dengan penduduk asli, terutama di sekitar daerah pantai dan di pedalaman, misalnya di Pekopen (konon, Pekopen berasal dari kata pe-kopi-an, artinya tempat istirahat dan ngopinya para tentara Mataram), Cibarusah, Pondok Rangon (konon juga, merupakan pondok tempat bala tentara Mataram mengadakan perundingan dan mengatur siasat penyerbuan, didirikan oleh Pangeran Rangga), Tambun, dan bahkan ada pula yang membuka perkampungan baru, karenanya sangat beralasan bila pengaruh kebudayaan Jawa terasa di sebagian daerah Bekasi. Tentara Mataram yang datang ke Bekasi, tidak hanya berasal dari Mataram saja (Jawa Tengah), tetapi juga ada yang berasal dari Sumenep (Madura, Jawa Timur), Kerajaan Padjadjaran, Galuh dan Sumedanglarang (Jawa Barat). Karenanya di Bekasi terdapat daerah-daerah yang berbahasa Sunda, dialek Banten, Jawa atau campuran. Kedatangan tentara Mataram selain berpengaruh terhadap bahasa, penamaan tempat juga ikut memperkaya khasanah budaya Bekasi, seperti Wayang Wong, Wayang Kulit, Calung, Topeng dan lain-lain. Selain itu ada juga kesenian olah keprajuritan “ujungan” yang menampilkan keberanian, ketrampilan dan sentuhan ilmu bela diri, khas olah raga prajurit.

Bekasi, Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Bekasi, pada masa ini masuk ke dalam Regentschap Meester Cornelis, yang terbagi atas empat district, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan Cikarang. District Bekasi, pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai wilayah pertanian yang subur, yang terdiri atas tanah-tanah partikelir, system kepemilikan tanahnya dikuasai oleh tuan-tuan tanah (kaum partikelir), yang terdiri dari pengusaha Eropa dan para saudagar Cina. Di atas tanah partikelir ini ditempatkan Kepala Desa atau Demang, yang diangkat oleh Residen dan digaji oleh tuan tanah. Demang ini dibantu oleh seorang Juru Tulis, para Kepala Kampung, seorang amil, seorang pencalang (pegawai politik desa), seorang kebayan (pesuruh desa), dan seorang ulu-ulu (pengatur pengairan). Untuk mengawasi tanah, para tuan tanah mengangkat pegawai atau pembantu dekatnya, disebut potia atau lands opzienerPotia biasanya keturunan Cina, yang diangkat oleh tuan tanah. Tugas potiaadalah mengawasi para pekerja, serta mewakili tuan tanah apabila tidak ada ditempat. Disamping itu ada juga Mandor yang menguasai suatu wilayah, disebut wilayah kemandoran. Dalam praktek sehari-hari, mandor sangatlah berkuasa, seringkali tindakannya terhadap para penggarap melampaui batas-batas kemanusiaan. Para penggarap adalah pemilik tanah sebelumnya, yang tanahnya dijual pada tuan tanah. Orang yang diangkat mandor biasanya dari para jagoan atau jawara yang ditakuti oleh para penduduk.
Distrik Bekasi terkenal subur yang produktif, hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan distrik-distrik lain di Batavia, distrik Bekasi rata-rata mencapai 30-40 pikul padi setiap bau, sedangkan distrik lain hanya mampu menghasilkan padi 15-30 pikul setiap baunya. Namun demikian yang menikmati hasil kesuburan tanah Bekasi adalah Sang tuan tanah, bukanlah rakyat Bekasi. Rakyat Bekasi tetap kekurangan, dalam kondisi yang serba sulit, seringkali muncul tokoh pembela rakyat kecil, semisal Entong Tolo, seorang kepala perambok yang selalu menggasak harta orang-orang kaya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat kecil, karenanya rakyat sangat menghormati dan melindungi keluarga Entong Tolo, Sang Maling Budiman, Robin Hood-nya rakyat Bekasi. Di hampir semua wilayah Bekasi memiliki cerita sejenis, dengan versi dan nama tokoh yang berbeda. Hal ini juga, yang mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat Bekasi, terhadap sesuatu yang berhubungan dengan ke’jawara’an.

Setelah Entong Tolo ditangkap dan dibuang ke Menado, tahun 1913 di Bekasi muncul organisasi Sarekat Islam (SI) yang banyak diminati masyarakat yang sebagian besar petani. Berbeda dengan di daerah lain, kepengurusan SI Bekasi didominasi oleh kalangan pedagang, petani, guru ngaji, bekas tuan tanah dan pejabat yang dipecat oleh Pemerintah Hindia Belanda, serta para jagoan yang dikenal sebagai rampok budiman. Karena jumlah yang cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi kekuatan yang dominan ketika berhadapan dengan para tuan tanah. Antara 1913-1922, SI Bekasi menjadi penggerak berbagai protes sebagai upaya penentangan terhadap berbagai penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan kerja paksa (rodi), protes petani di Setu (1913) sampai pemogokkan pembayaran “cuke” (1918).

Bekasi, masa pendudukan Jepang

Kedatangan Jepang di Indonesia bagi sebagian besar kalangan rakyat, memperkuat anggap eksatologis ramalan Jayabaya (buku “Jangka Jayabaya”, mengungkapkan :”…suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari utara yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya akan memerintah sebentar yakni selama ‘seumur jagung’, sebagai Ratu Adil yang kelak akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan…”

Pada awalnya, penaklukan Jepang terhadap Belanda disambut dengan suka cita, yang dianggap sebagai pembebas dari penderitaan. Rakyat Bekasi menyambut dengan kegembiraan, dan semakin meluap ketika Jepang mengijinkan pengibaran Sang Merah Putih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya. Namun kegembiraan rakyat Bekasi hanya sekejap, selang seminggu pemerintah Jepang mengeluarkan larangan pengibaran Sang Merah Putih dan lagu Indonesia Raya. Sebagai gantinya Jepang memerintahkan seluruh rakyat Bekasi mengibarkan bendera “Matahari Terbit” dan lagu “Kimigayo”. Melalui pemaksaan ini, Jepang memulai babak baru penindasan, yang semula dibanggakan sebagai “saudara tua”.

Kekejaman tentara Jepang semakin kentara, ketika mengintruksikan agar seluruh rakyat Bekasi berkumpul di depan kantor tangsi polisi, untuk menyaksikan hukuman pancung terhadap pendudukTeluk buyung bernama Mahbub, yang ditangkap karena diduga sebagai mata-mata Belanda dan menjual surat tugas perawatan kuda-kuda militer Jepang. Hukum pancung ini sebagai shocktheraphy agar menimbulkan efek jera dan ketakutan bagi rakyat Bekasi. Bala tentara Jepang juga memberlakukan ekonomi perang, padi dan ternak yang ada di Bekasi Gun dicatat, dihimpun dan wajib diserahkan kepada penguasa militer Jepang. Bukan saja untuk keperluan sehari-hari tapi juga untuk keperluan jangka panjang, dalam rangka menunjang Perang Asia Timur Raya.

Akibatnya, rakyat Bekasi mengalami kekurangan pangan, keadaan ini makin diperparah dengan adanya “Romusha” (kerja rodi). Pemerintah militer Jepang juga melakukan penetrasi kebudayaan dengan memaksa para pemuda Bekasi untuk belajar semangat bushido (spirit of samurai), pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang). Para pemuda dididik melalui kursus atau dengan melalui pembentukan SeinendanKeibodanHeiho dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang kemudian langsung ditempatkan kedalam organisasi militer Jepang.

Selain organisasi bentukan Jepang, pemuda Bekasi mengorganisasikan diri dalam organisasi non formal yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB), yang didirikan pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam Bekasi yang setiap malam Jum’at mengadakan pengajian di Mesjid Al –Muwahiddin, Bekasi, para anggotanya terdiri atas pemuda santri, pemuda pendidikan umum dan pemuda “pasar” yang buta huruf. Awalnya GPIB dipimpin oleh Nurdin, setelah ia meninggal 1944, digantikan oleh Marzuki Urmaini. Hingga awal kemerdekaan BPIB memiliki anggota yang banyak, markasnya di rumah Hasan Sjahroni, di daerah pasar Bekasi, banyak anggotanya kemudian bergabung ke-BKR dan badan perjuangan yang dipimpin oleh KH Noer Alie. GPIB banyak memiliki Cabang antara lain, GPIB Pusat Daerah Bekasi (Marzuki Urmaini dan Muhayar), GPIB Daerah Ujung Malang – sekarang Ujung Harapan - (KH Noer Alie), GPIB Daerah Tambun (Angkut Abu Gozali, GPIB Kranji (M. Husein Kamaly) dan GPIB Cakung (Gusir).

Bekasi, masa kemerdekaan

Awal Agustus 1945, tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu kian santer terdengar, terutama di kawasan Asia Pasifik. Setelah bom atom “memeluk erat” Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah. Gelora kemerdekaan tidak hanya milik pemuda Jakarta saja, pemuda Bekasi pun menyambut antusias, ketika diminta mengawal dan menjaga keamanan Bung Karno dan Bung Hatta beserta rombongan yang “bergerak” ke Rengas Denglok, pemuda Bekasi bergerak bahu-membahu mengamankan jalur perjalanan kedua pemimpin tersebut, berangkat maupun kembali (bagi masyarakat yang dilintasi jalur perjalanan, memiliki nostalgia heroiknya tersendiri, dan jalur inilah oleh rakyat Bekasi disebut dengan Jalan Lintas Proklamator, melintas wilayah kecamatan KedungWaringinCikarang TimurKarang Bahagia.

Setelah peristiwa ini, esok harinya Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, pk 10.00 WIB di Pegangsaan Timur 56, atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta membacakan Teks Proklamasi, yang kemudian disiarkan ke seluruh pelosok Indonesia. Rakyat termasuk rakyat Bekasi menyambut dengan penuh suka cita. Inilah titik awal untuk membangun bangsa setelah berabad-abad dibawah cengkraman penjajah, menjadi bangsa yang merdeka, wahai…alangkah indahnya !!

Sisi lain kabar gembira ini juga menimbulkan tindakan kekerasan, rakyat melampiaskan kemarahannya yang sudah terpendam lama akibat kekejaman tentara Jepang. Peristiwa pelucutan senjata dan pembunuhan terjadi juga di Bekasi. Peristiwa pembunuhan tuan tanah Teluk Pucung dan penahanan 49 truk milik Jepang pada 25 Agustus 1947 (2 truk bermuatan senjata disita, sedang 47 truk yang berisi tentara Jepang diperintahkan langsung ke Jakarta).

Insiden Kali Bekasi, sebuah epos yang memiliki arti yang sangat dalam bagi Rakyat Bekasi, menggambarkan keberanian Rakyat Bekasi, sekaligus tragis. Kali Bekasi merupakan garis demarkasi antara tentara sekutu (Inggris dan NICA) yang menduduki Jakarta dengan laskar-laskar Republik yang bertahan di seberang kali di bagian timur. Akibat pendudukan tentara Jepang yang kejam terhadap rakyat Bekasi, pemuda dan rakyat Bekasi bertindak sendiri dengan menangkap Orang-orang Jepang atau bahkan siapa saja yang diduga telah bekerja sama dengan Jepang. Pemuda dan rakyat Bekasi menghentikan setiap kereta api yang melintas Bekasi, baik yang keluar maupun menuju Jakarta. 19 Oktober 1945, meluncur kereta dari Jakarta yang mengangkut tawanan Jepang menuju Ciater (dipulangkan melalui lapangan udara Kalijati), kereta tersebut berhasil lolos dari hadangan, setibanya di Cikampek dihentikan oleh para pejuang disana dan diperintahkan kembali keJakarta. Rakyat Bekasi sudah menunggu, di Stasiun Bekasi seluruh gerbong kereta digeledah, ditemukan 90 orang tentara Jepang. Rakyat beringas ketika ditemukan senjata api milik seorang tawanan (ada ketentuan bahwa Jepang wajib menyerahkan seluruh persenjataannya), seluruh tawanan ditelanjangi dan ditempatkan di Rumah Gadai tepi kali Bekasi, yang dijadikan penjara sementara. Awak kereta sudah mencoba mencegah penggeledahan terhadap tawanan dengan menunjukkan surat perintah jalanan dari Menteri Subardjo yang ditandatangani Bung Karno, rakyat Bekasi tidak perduli, kemarahan memuncak karena pengalaman sejarah yang begitu kejam pada masa pendudukan Jepang. Setelah maghrib, seluruhnya digelandang ke tepi Kali Bekasi dan dibantai. Kali Bekasi yang jernih memerah darah.

Laksamana Maeda protes, meminta pertanggung-jawaban R. Soekanto (Kapolri waktu itu) dan meminta jaminan agar peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi. Bunyi surat Maeda “…Kedjadian ini boleh dibilang beloem terdjadi dalam Sedjarah doenia, dan kelakoean sematjam ini menodai perasaan soetji terhadap jang maha koeasa serta menghina terhadap perasaan kemanoesiaan. Hal ini dipandang sebagai boekti bahwa bangsa Indonesia dengan sikap jang demikian itoe tidak mempoenjai pendirian tegoeh di doenia ini. Djika dibiarkan keadaan semacam itoe mungkin akan meradjalela…etc”. R. Soekanto mendjawab, sekaligus sebagai pernyataan sikap pemerintah Republik, “… sesoenggoehnja jang mempoenjai hak mendjalankan hoekoeman menembak mati hanjalah pemerintah Repoeblik Indonesia, akan tetapi daerah Bekasi itoe seperti toean ketahoei ialah soeatoe daerah dimana rakjat beloem sama sekali toendoek kepada pemerintah Repoeblik Indonesia. Seperti dalam soerat itoe telah menjatakan penjelasan kami atas kedjadian itoe, maka pemerintah Repoeblik Indonesia telah beroesaha sebaik2-nja oentoek menolong 90 orang serdadoe Jepang itoe, akan tetapi oesaha itoe gagal…”. Akibat Insiden Kali Bekasi, Bung Karno merasa perlu untuk datang ke Bekasi (25 Oktober 1945), menenangkan rakyat Bekasi dan menghimbau agar peristiwa serupa itu tidak terulang lagi. Setelah Presiden memberikan amanatnya, rakyat Bekasi membubarkan diri dengan tenang. Belanda masih belum rela melepas kukunya di Indonesia, “ndompleng” tentara Sekutu yang secara resmi membawa tugas sebagai Allied Prisoners of War and Interness/APWI (melucuti dan memulangkan tentara Jepang, mengevakuasi tawanan perang, menjaga keamanan dan ketertiban di bekas pendudukan Jepang yang diambil alih). Maksud Belanda kembali menguasai bumi pertiwi ini, membakar kemarahan Bangsa Indonesia, pemuda Bekasi berang, semboyan “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka”, “Rawe2 Rantas, Malang2 Poetoeng”, “Bekasi Pantang Moendoer”, serta salam pekikan “MERDEKA” membahana di atmosfir Bekasi. Beribu-ribu rakyat Bekasi bersenjatakan bambu runcing, golok, keris dan beberapa pucuk senjata api hasil pampasan, rakyat Bekasi tetap menerobos barikade, menyerbu Jakarta, Lapangan Ikada. Membuktikan kepada dunia, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berdiri dan ada! (Rapat besar Ikada tidak berlangsung mulus, Bung Karno hanya meminta rakyat untuk tetap tenang dan kembali ke rumah masing-masing).

Peristiwa Bekasi Lautan Api, juga merupakan sebuah bukti catatan Sejarah Perjuangan Rakyat Bekasi, yang banyak merenggut jiwa-jiwa patriotisme dalam mempertahankan kemerdekaan. Bermula dari jatuhnya pesawat Dakota Inggris di Rawa Gatel, Cakung (wilayah Bekasi ketika itu). Rakyat mengepung pesawat, seluruh awak pesawat dan penumpang (4 orang awak pesawat berkebangsaan Inggris dan 22 berkebangsaan India-Sykh, orang Bekasi nyebutnya “tentara ubel-ubel”), ditangkap dilucuti senjata serta pakaiannya, dibawa ke Markas TKR Ujung Menteng(pimpinan Umar Effendi dan Muhammad Amri), selanjutnya ditahan di tangsi polisi Bekasi.

Sekutu kemudian mengirimkan maklumat, kepada pejuang Bekasi (diterima Dan TKR Yon V, Mayor Sambas Atmadinata), isinya : “…segera seluruh tentara Inggris yang ditawan di Bekasi agar dikembalikan kepada pihak Inggris. Apabila tidak dikembalikan, maka Bekasi akan dibumi-hanguskan…”, Rakyat dan Pemuda Bekasi menolak isi maklumat tersebut (gue kagak takut, coy…!) tiga hari kemudian seluruh tawanan dibunuh.

Inggris mengirimkan Batalyon Infantri dan Artilerinya (tentara Punjab ke-1/16, Skuadron Kavaleri FAVO ke-11, Pasukan Perintis ke-13, Pasukan Resimen Medan ke-37 dan Detasemen Kompi Medan ke-69), bergerak dari Jakarta menuju Cakung, melewati garis demarkasi dan memasuki wilayah Kranji. Pemuda dan Rakyat Bekasi melakukan penghadangan di Kampung Rawa Pasung, pintu lintasan kereta ditutup, rakyat Bekasi bersembunyi disemak-semak sekitarnya. Sekutu berhenti, disangkanya ada kereta yang akan melintas, saat lengah, rakyat Bekasi muncul dari semak-semak melumpuhkan pasukan sekutu yang membawa perlengkapan perang modern, bahkan pemuda Bekasi tanpa menghiraukan nyawanya, dengan gagah berani, naik keatas Panser. Pertempuran jarak dekat ini, membuat tentara Sekutu “kedér”, mereka menarik mundur pasukan.

Sekutu kembali menyerang, dengan kekuatan lebih besar, puluhan truk berisi serdadu Inggris dan India (prajurit Punjab dalam dunia militer, terkenal dengan belati “kukri”nya) puluhan panser dan pesawat terbang menyerbu Bekasi. Rakyat Bekasi merubah taktik pertempuran, pusat kota dikosongkan, membentuk pasukan-pasukan kecil yang gagah berani, hit and run dijalankan, gerilya kota dimulai…, karena takut dan tidak menguasai wilayah, serdadu Inggris selalu berkelompok dalam pasukan jumlah besar.

Ketika pasukan Inggris sampai di tangsi Bekasi, mereka tidak menemukan seorangpun pejuang Bekasi, hanya menemukan mayat teman-temannya yang telah membusuk dan sebagian dikubur di belakang Tangsi Polisi Bekasi. Akibat kejadian itu, Sekutu mulai melakukan provokasi dengan melakukan penyerangan secara sporadis, pesawat udara dan pasukan darat melakukan serangan membabi buta, pesawat udara menggunakan bom-bom pembakar, pasukan darat membakari rumah-rumah penduduk.

Kampung Dua Ratus terbakar, kemudian meluas ke Kayu RinginTeluk BuyungTeluk Angsan dan Pasar Bekasi. Bekasi Timur dan Barat berubah seperti “api unggun raksasa”, langit Bekasi menghitam, dipenuhi asal mengepul ke udara, hitam pekat. Pembakaran berlangsung hampir satu malam penuh, paginya hanya menyisakan asap dan debu, puing-puing berserakan. Ibu-ibu, anak-anak dan orang tua berteriak histeris menyaksikan ulah tentara Sekutu. Masyarakat Bekasi mengungsi, tidak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkan harta bendanya.

Peristiwa ini menjadi berita besar bagi pers Nasional maupun Internasional, pers internasional mengutuk tindakan Inggris yang mengibaratkan dengan tindakan Nazi Jerman yang membakar habiskota Lydice-Cekoslowakia dalam Perang Dunia II. Perdana Menteri Sjahrir menyatakan “…jika Inggris menggunakan kekerasan untuk mengembalikan keamanan di Djawa, maka semua orangIndonesia akan melawan sebisa dia. Merdeka!!…”. Rosihan Anwar, yang sedang melakukan perjalanan ke Yogyakarta, pagi harinya, menyaksikan Bekasi dari sela-sela jendela kereta, menggambarkan…”Waktoe kita melewati Bekasi nampaklah di tepi djalan roemah2 habis terbakar menjadi deboe sebagai akibat kekerasan Inggris. Pemandangan amat menjedihkan, mengingatkan kita bahwa di sana ada djedjak peperangan. Akan tetapi djoestroe dekat reroentoehan roemah itoe kita melihat perempoean toeroen ke sawah memasoekan benih-benih ke dalam loempoer. Pertentangan ini mengharoekan djiwa moesafir, sebab didekat reroentoehan moentjoel dengan tabahnya oesaha menghidoepkan. Itoelah bangsa Indonesia penoeh vitaliteit, mempunyai banjak kegembiraan dan tenaga hidoep ber-limpah2…”

Bekasi, terbentuknya Kabupaten Bekasi

Berdasarkan aturan hukum pada saat itu dan melihat kegigihan rakyat memperjuangkan aspirasinya untuk membentuk suatu pemerintahan tersendiri, setingkat Kabupaten, mulailah para tokoh dan rakyat Bekasi berjuang agar pembentukan tersebut dapat terealisasikan. Awal tahun 1950, para pemimpin rakyat diantaranya R. SoepardiKH Noer AlieNaminAminudin dan Marzuki Urmainimembentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi”, dan mengadakan rapat raksasa di Alun-alun Bekasi (17 Januari 1950), yang dihadiri oleh ribuan rakyat yang datang dari pelbagai pelosok Bekasi, dihasilkan beberapa tuntutan yang terhimpun dalam “Resolusi 17 Januari”, yang antara lain menuntut agar nama Kabupaten Jatinegara dirubah menjadi Kabupaten Bekasi, tuntutan itu ditandatangani oleh Wedana Bekasi (A. Sirad) dan Asisten Wedana Bekasi (R. Harun).

Usulan tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan menyetujui penggantian nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten Bekasi”, persetujuan ini semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1950 yang ditetapkan tanggal 8 Agustus 1950 tentang : Pembentukan Kabupaten-kabupaten di lingkungan Propinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1950 tentang berlakunya undang-undang tersebut, maka Kabupaten Bekasi secara resmi terbentuk pada tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Pemerintah Daerah pada saat itu, yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya, ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Bekasi, bahwa tanggal 15 Agustus 1950 sebagai HARI JADI KABUPATEN BEKASI, dan R. Suhandan Umar (sebelumnya Bupati Jatinegara) sebagai Bupati Bekasi pertama, kedudukan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi tetap di Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta, Jakarta).

Penutup Tulisan

Dalam perjalanannya kemudian, Bekasi mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadi kawasan industri yang men”dunia”, kawasan industri yang tidak hanya berisi pabrik-pabrik, tetapi juga di dalamnya bercokol juga plaza, mal-mal, perumahan, lapangan golf, pusat bisnis bahkan sekolah-sekolah unggulan, dari sejak children play group sampai perguruan tinggi bertaraf nasional maupun international, yang mungkin pada jaman ‘Entong Tolo’ dulu, tak akan pernah bisa kita bayangkan.

Di sisi lain, Kabupaten Bekasi juga kini telah melahirkan seorang putra yang cantik nan rupawan, montok dan moleg, sexy dan mumpuni, bak pemain sinetron yang lagi digandrungi, Kota Bekasi. Kita, masyarakat Kabupaten Bekasi, orang tuanya, selalu berdoa semoga putera ini sehat, pinter, berguna bagi nusa, bangsa, agama dan bangsanya, dan tidak menjadi Malin Kundang bagi orang tuanya….

Dengan terbentuknya Kota Bekasi, kita harus mampu menggali nilai-nilai kesejarahan yang ada di wilayah kabupaten (tanpa harus meninggalkan kebersamaan sejarah dengan kota), untuk dapat meningkatkan rasa kebanggaan dan rasa memiliki yang tinggi, sebagai warga masyarakat Kabupaten.

(sumber humas kab. bekasi blog).

________________________________

Tulisan ini diambil dari sumber yang tersebut di atas secara keseluruhan, Kami hanya sedikit menambahkan apa yang Kami rasa perlu tanpa bermaksud merubah keaslian tulisan ini. Kami hanya berniat membagikan dan meneruskannya kepada Anda pembaca sekalian. Semoga ini bisa bermanfaat, bagi Anda dan Kami pribadi khususnya. Bersama ini juga Kami memohon izin kepada para sumber yang telah banyak berjasa dengan membuat tulisan ini dan mohon dimaafkan bila Kami telah lancang memuat tulisan ini tanpa izin sebelumnya. Terimakasih. BETAWI BEKASI BERSATU.

BETAWI BEKASI BERSATU

KEBUDAYAAN - Wayang Kulit Betawi Bekasi


WAYANG KULIT BETAWI BEKASI

Ini adalah salah satu kesenian Wayang Kulit Betawi yang masih bertahan hingga kini (saat tulisan ini dibuat) di Bekasi. Namanya AMS, dengan Dalang Bapak HASAN BOHER MUDA yang berasal dari Kampung Garon, Bekasi.

WAYANG KULIT BETAWI AMS,
TANPA PANGGUNG, DI KAMPUNG BOGOR KEPU,
DESA SETIA ASIH, KEC. TARUMAJAYA, BEKASI

BETAWI BEKASI BERSATU - 111111

Bekasi, 08 Nopember 2011.

WAYANG KULIT BETAWI

Ini adalah salah satu kesenian Wayang Kulit Betawi yang masih bertahan hingga kini (saat tulisan ini dibuat) di Bekasi. Namanya TUNAS JAYA 1, dengan Dalang Bapak NAMAN SANJAYA yang berasal dari Bojong Rawa Lumbu, Bekasi. Lakon yang dibawakan saat gambar ini diambil adalah "GATOT-KACA JADI RAJA".



BETAWI BEKASI BERSATU - 081111