Selasa, 28 Februari 2012

GADO-GADO - Seroja


Di salah satu sudut kota Bekasi, tepatnya di Wisma Seroja Bekasi Utara tinggal sekelompok orang yang memiliki satu kesamaan. Pejuang Seroja, itulah sebutan yang melekat pada diri mereka. Perintah untuk membantu rakyat Timor Timur menghadapi pemberontak Fretelin yang membuat mereka disebut demikian. Selamat dari maut yang menjemput kala perang merupakan karunia yang harus disyukuri. Namun, kecacatan kadang tidak terelakkan akibat peluru-peluru yang mengincarnya. Hidup dengan kondisi cacat sedikit banyak menghalangi produktivitas. Apalagi jika cacatnya parah, seratus persen hidupnya tergantung pada keluarga. Sedikit menghargai perjuangan, Yayasan Dharmais menghibahkan rumah sebagai tempat bernaung bagi mereka dan keluarganya.
Nama buah-buahan membagi perumahan bernama Wisma Seroja menjadi beberapa jalan. Di salah satu jalan, tinggal salah satu pejuang bernama Suwarno, seorang pria berkumis, duduk di teras rumahnya yang bercat warna hijau. Hari yang menjelang siang membuatnya hanya memakai kaos singlet dan sarung. Sebuah tongkat bersandar di tangan kirinya. Tongkat yang bersandar itu menemani kesehariannya di rumah. Perlawanannya menghadapi Fretelin membuat kaki kanannya harus diamputasi sebatas lutut. Kedua matanya juga sempat tidak bisa melihat selama dua bulan. "Saya kira, saya akan buta". Kenangnya. Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Rasa nyeri masih menggerogoti persendiannya pasca-operasi. Di beberapa tempat timbul benjolan akibat banyak minum obat. Benjolan itu terasa sakit dan sifatnya kambuhan. Saran untuk ke pengobatan alternatif dengan meminum ramuan membuat nyeri sakitnya berkurang.
Hari-hari sebelum mempensiunkan diri dilalui Suwarno dengan bekerja. Buntung kakinya tidak menghalangi untuk berkarya. Sebagai koordinator terminal bus, pekerjaannya tidak membutuhkan banyak gerakan fisik. Letak terminal yang ada di bagian depan Perumahan Seroja juga membuat aksesnya mudah. Perannya yang juga menertibkan keamanan di terminal membuatnya dekat dengan pihak polisi. "Teman polisi menyebut saya dengan Pak De Warno", ungkapnya tentang kedekatannya dengan polisi.
Dari pekerjaannya itu, ia masih bisa menyumbangkan penghasilan untuk keluarganya. Istrinya juga turut membantu keuangan keluarga dengan mengerjakan orderan merakit korek api. Sekitar Rp. 300.000 per bulan tambahan penghasilan mereka peroleh dari orderan itu. Sekarang, orderan itulah yang menjadi tumpuan hidup keluarga karena Suwarno tidak lagi bekerja di terminal. Ia mempensiunkan diri mengingat kondisi fisiknya yang semakin melemah. Tinggalnya salah satu anak yang telah berkeluarga dengannya sedikit menjadi pelipur untuk melewati hari-hari. Sebagai pejuang seroja yang ikut mempertahankan keutuhan Timor-Timur, Bapak beranak dua ini sangat kecewa terhadap lepasnya daerah itu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Menyesal sekali, nyeselnya nggak terhingga lagi. Sebenarnya masyarakat sana masih pro-Indonesia", komentarnya. Walaupun demikian, ia tidak menyalahkan siapa-siapa dengan kehilangan salah satu kakinya. "Ini sudah merupakan tugas dan sumpah prajurit", kata Bapak yang badannya masih tegap ini.
Perasaan kehilangan yang mendalam dengan lepasnya Timor Timur juga dialami teman seperjuangan Suwarno, Bambang Sukarto. Masih terlihat jelas emosinya jika mengingat perjuangan itu. Hasil perjuangannya dilepas begitu saja. Siapa pun mungkin akan mempunyai perasaan yang sama dengannya. Tidak heran jika waktu itu warga Wisma Seroja berdemonstrasi menentang lepasnya Timor Timur dari NKRI. Mereka benar-benar tidak rela wilayah yang sudah mereka pertahankan dan diperjuangkan dengan mengorbankan nyawa lepas begitu saja. Namun, tidak banyak yang dapat mereka lakukan karena opsi yang ditawarkan oleh pemerintah kepada rakyat Timor Timur secara terbuka menghasilkan kenyataan yang sangat pahit.
Pahit-getirnya perjuangan juga telah dialami Bapak yang sudah berumur 71 tahun ini. Ia turut andil dalam menumpas beberapa pemberontakan daerah dan PKI sebelum berjuang di Timor Timur. Di operasi Seroja-lah, kakinya kena tembak. Akibatnya, ia menjalani hidupnya dengan kondisi kaki pincang. Namun, itu masih patut disyukuri dibandingkan teman lain yang cacatnya lebih parah, bahkan ada yang pulang tinggal nama meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Sebagai seorang pejuang yang pernah membela negeri ini, ia mengkritisi pemerintahan orde reformasi. Penerusnya tidak lagi memperhatikan nasib para pejuang Seroja. "Zaman sekarang ini sudah sangat berbeda pada waktu dulu. Sekarang ini kami hanya sampah masyarakat. Habis manis sepah dibuang", ungkapnya dengan kesal. Sekadar diundang pada saat ada peringatan yang berhubungan dengan hari-hari pahlawan merupakan salah pengobat kesedihan mereka.
Setelah pensiun, hari-harinya dilewatkan di rumah. Namun, seorang Bambang masih diperlukan peranannya. Ia masih bersedia mengurus urusan administrasi teman-teman seperjuangannya. Dengan berbekal sepeda motor, dirinya pulang-pergi ke kantor veteran pusat. Pekerjaan itu ia lakukan hampir setiap minggu. Namun, sebagian besar waktunya ia lewatkan berdua di rumah dengan istri tercinta. Keenam anaknya sudah mandiri dengan membangun rumah tangga masing-masing. Relakan kepergian apa yang kita punya. Ini akan membuat hati jauh lebih lapang dan ringan.

Operasi Seroja.
Seroja. Nama bunga yang indah itu dijadikan nama sandi operasi militer Indonesia di Timtim, menggantikan operasi intelijen bersandi Umi Tuti dan Komodo yang sebelumnya berlangsung secara politis. Timor Timur, wilayah seluas 14 ribu kilometer persegi itu, menjadi perhatian dunia karena nyaris tak pernah sepi dari konflik sejak 25 April 1974. Partai besar berkuasa Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (Fretilin) yang berhaluan komunis, makin menarik perhatian Barat. Maka Amerika Serikat dan sekutunya pun merasa berkepentingan dengan Timtim untuk membendung laju komunisme di kawasan Asia Tenggara.
Beberapa perwakilan Barat merapat ke Indonesia. Perdana Menteri Australia Gough Whitlam pun menemui Presiden Soeharto. Dua pemimpin itu bertemu di sebuah wisma di lereng Dieng yang sejuk di Wonosobo, Jawa Tengah, (5 hingga 7 September 1974). Pertemuan itu pun berlanjut di Townsville, Australia tujuh bulan kemudian, 3 sampai 5 April 1975. Bukan hanya PM Australia saja yang bertemu dengan Presiden Soeharto. Presiden AS Gerald Ford dan Menlu Henry Kissinger pada tahun yang sama datang pula ke Istana Negara Jakarta. Kunjungan kepala negara adikuasa itu seolah menjadi pertanda dukungan untuk Indonesia melakukan infiltrasi ke Timtim.
Maka Operasi Seroja pun digelar. Operasi militer itu dimulai 7 Desember 1975 dengan dibantu para pendukung partai Uniao Democratica de Timor (UDT), Associacao Popular (APODETI), Klibur Oan Timur Aswain (KOTA) dan Partido Trabalista. Target pertama koalisi ABRI dan para pendukung dari partai-partai lokal itu, merebut dan menduduki kota-kota besar di Timtim yang dikuasai Fretilin. Operasi berhasil, meski memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Ribuan orang mengungsi ke perbatasan Timor Barat. Sementara Fretilin dan para simpatisannya lari ke gunung dan hutan. Timtim akhirnya bergabung dengan Indonesia, Sabtu 17 Juli 1976 melalui UU No 7/1976, sekaligus mengukuhkan bumi Timor Lorosae menjadi wilayah provinsi ke-27 di NKRI.
Gejolak sosial politik di Timtim, rupanya tak pernah berhenti. Hingga akhirnya 23 tahun kemudian, Timtim lepas dari NKRI melalui proses referendum 1999. Sejak awal proses infiltrasi dan penggabungan Timtim 1975 hingga lepasnya Bumi Timor Lorosae 1999 yang diwarnai dengan gejolak berdarah, telah menelan korban jiwa nyaris tak terhitung lagi. Menurut buku "Timor Timur Dulu dan Sekarang", terbitan Solidamor (September, 1998), pertikaian di Timtim telah merenggut korban 200 ribu jiwa rakyat Timor Timur dan 10 ribu personil ABRI. Bukan hanya itu, sekitar 60 ribu orang menjadi pengungsi di berbagai kawasan Timor BaratAtambua dan sekitarnya.

Rumah Veteran Belum Memadai Untuk Ditempati.
Minggu, 25 Juli 2010

Pemerintah telah memberi fasilitas berupa rumah kepada para pejuang veteran Seroja yang tinggal di komplek perumahan Seroja, Bekasi Utara, Kota Bekasi. Namun hingga kini rumah pemberian itu belum ditempati sebagian besar para pejuang Timor-Timur itu.
Menurut Sukoro (55), Ketua Yayasan Veteran - Seroja Timor-Timur, bahwa baru-baru ini pemerintah Indonesia menyerahkan rumah bagi 150 veteran yang tinggal di komplek Seroja. 150 rumah tersebut terletak di Desa Singosari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor.
"Rata-rata tipe 22, namun hingga kini belum ditempati karena fasilitas listriknya belum memadai" ungkap Sukoro. Sudah hampir 3 bulan rumah pembagian untuk veteran tersebut diberikan. Namun selama itu pula belum ditempati. Pemberian rumah ini dalam bentuk uang muka gratis dari ASABRI (Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dengan cicilan sekitar Rp 411.000,-, sedangkan dari 550 veteran lainnya yang tinggal di Seroja menurut Sukoro, juga sudah diberikan rumah tinggal di perumahan yang tersebar di sekitar wilayah Bekasi.
"Saya berharap pemerintah segera memberikan fasilitas yang layak, mulai dari listrik dan fasilitas jalannya. Begitu pula saya himbau anggota veteran untuk segera pindah jika semua fasilitas sudah dipenuhi”. Ujar Sukoro.

Secuil Kepahitan Veteran Seroja.
Perang selalu menyisakan kepahitan bagi kedua pihak yang bertikai. Luka di hati para serdadu dan keluarga kerap bernanah setiap mengenang tragedi memilukan itu. Wajar jika veteran Seroja entah yang telah gugur maupun cacat seumur hidup tak bisa begitu saja menerima Timor Timur sebagai Timor Leste, negara merdeka dan berdaulat di era milenium ini.
Ratusan bekas tentara yang dikirim dalam Operasi Seroja di Timtim sekitar 1975-1984 galau di tengah kegembiraan sekitar 220 ribu rakyat Timor Leste merayakan Deklarasi Kemerdekaan Timor Leste, 20 Mei 2002. Wisma Seroja menjadi bukti sejarah yang memilukan antara Indonesia dengan bekas provinsi ke-27 itu. Di perumahan di wilayah Bekasi, Jawa Barat, itulah 104 purnawirawan penyandang cacat menetap dan menghabiskan sisa hari mereka. Ratusan warakawuri atau janda prajurit yang meninggal dalam tugas juga berdiam di kawasan Pondok Ungu, Bekasi Utara, itu.
Kopral Kepala (purnawirawan) TNI Made Narsin misalnya. Sepintas tak ada yang aneh dari penampilan fisik pria bertubuh tegap ini. Padahal, dia mengenakan kaki kiri palsu. Setiap hari Made mengawali harinya dengan jalan mengitari wisma tanpa alas kaki, kecuali sepatu yang selalu melekat di kaki palsu sebelah kirinya. Pria berkumis ini mengaku sudah terbiasa berjalan kaki berkeliling hingga satu jam. Veteran asal Bali ini dikirim ke Timtim sekitar 1978. Tak banyak tempat yang diingat. Sebab, dia sering berpindah-pindah. Tapi, kenangan tentang Kota Liquisa tak mungkin terlupakan. Kala itu dia berpangkat prajurit satu. Nahas, dalam sebuah patroli di luar Kota LiquisaMade terkena ranjau yang ditanam di sebuah jalan setapak. Jalan hidup tentara pembawa bren ini sontak berubah. Tidak ada lagi yang dapat dilakukan Made kecuali berdamai dengan nasib.
Setelah menjalani terapi di Pusat Rehabilitasi Cacat di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, bekas anggota Batalyon 742 Lombok ini mengambil kursus perbaikan alat-alat elektronik. Kini, dia menghidupi keluarganya dengan membuka reparasi kulkas, kipas angin, dan pendingin ruangan (AC) di rumah yang di tempati sejak 1985.
Lain lagi dengan Saidin Isa. Pria sepuh ini kehilangan kedua kakinya dalam pertempuran dengan Fretilin, 25 tahun silam. Bahkan, sejak sepuluh tahun dia tidak sanggup berkomunikasi karena depresi.

Sepuluh tahun sudah Timor Timur lepas dari NKRI. Bagi generasi sekarang, barangkali cerita tentang Timtim hanya seperti tuturan kilasan sejarah kelam tanpa roh dan hanya untuk sekadar dongeng sebelum tidur bagi anak cucu. Tapi bagi mereka, para pelaku sejarah dan keluarganya, cerita tentang Timtim adalah cerita besar yang memunculkan kebanggaan sekaligus mengenang kepedihan. Yang pasti, kesegaran bunga Seroja memang tak pernah layu, meski politik dan kekuasaan telah melupakannya jauh di belakang, di dalam ruang masa lalu. Hanya catatan sejarah yang tak akan pernah menghapuskan spiritual perjuangan itu. Semangat berapi-api itu selalu tampak, setiap kali kita bertemu dan ngobrol dengan para veteran Seroja. Tak ada sakit hati dan tak ada dendam pada masa lalu.
Veteran Operasi Seroja Timor Timur meminta pemerintah memberikan hak kepada mereka sebagai veteran. Permintaan itu disampaikan dalam audiensi dengan Wakil Presiden Hamzah Haz di Istana Wakil Presiden, Jakarta. Soekoro, salah seorang veteran operasi itu, mengatakan, selama ini pihaknya belum diakui undang-undang. Dia menjelaskan, menurut UU No. 7/1967 mereka yang disebut veteran perang hanyalah yang pernah berjuang pada 1945Operasi Trikora dan Operasi Dwikora.
Dia khawatir apabila veteran Seroja tidak diakomodasi dalam sebuah perundang-undangan akan terjadi pemelintiran sejarah. "Kami bukan lagi dianggap veteran, tapi penjahat perang," kata Ketua Ranting Khusus Pejuang Seroja Bekasi itu. Selain itu, menurut Soekoro, selama ini veteran Operasi Seroja 1975 itu belum mendapat perlakuan yang layak sebagai pejuang. Dia mencontohkan selama ini apabila ada veteran yang meninggal, mulai dari tempat sampai biaya diurus sendiri. "Dan tidak ada upacara militer," kata purnawiran TNI AD dengan pangkat akhir Sersan Mayor ini.

(Dari Berbagai Sumber).


BETAWI BEKASI BERSATU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar