SEJARAH BEKASI
Bekasi, 11 Nopember 2011.
Bekasi : Puspa Ragam Sejarah
Oleh : M.A Supratman (Orang Bekasi yang lahir di Indramayu)
Pengantar Tulisan
…menyuguhkan tulisan tentang sejarah suatu kota tanpa dibatasi kurun waktu, memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, karena jika terlalu panjang, orang berfikir, yaa…baca saja Buku Sejarah resmi yang diterbitkan oleh Pemda bersangkutan, jika pendek, bagian mana yang harus dimuat, yang harus ditonjolkan, karena ini akan berhubungan dengan masa/waktu, pelbagai kepentingan, tujuan, gaya dan selera penulisan, maka tulisan ini’pun terbatas hanya sampai pada terbentuknya Kab Bekasi, dan inilah, puspa ragam sejarah Bekasi, disarikan dari buku “Sejarah Bekasi” terbitan Kantor Arpuslahta dan LPPM Unisma (2002), tanpa bermaksud mengecilkan peranan suatu tokoh, kelompok atau suatu masa perjuangan, tulisan ini semata-mata ingin mengenang, membangkitkan jiwa patriotisme dan kebanggaan heroisme (jika bisa..) kepada orang Bekasi, khususnya kawula muda Bekasi atau orang yang mengaku berjiwa Bekasi, seperti pesan pejuang Bekasi yang “ditangkap” oleh Chairil Anwar dalam satu kuplet “Krawang – Bekasi” …
Kenang-kenanglah kami,
Terus, teruskan djiwa kami
Teruskanlah perjuangan kami…
Bekasi, Masa Kerajaan…
Penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno). Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalannya kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun KA Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.
Candrabhaga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri sejak abad ke 5 Masehi. Ada 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni : Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke enam prasasti ini ada di Daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah Munjul, Pandeglang, Banten (Prasasti Cidangiang) (BBB).
Diduga bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, berbunyi : ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir hingga ke laut, bahkan kali ini mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang indah dan berair jernih, “Gomati” namanya. Setelah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman Yang Mulia Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yaitu pada tanggal 8 paro petang bulan phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Jadi, selesai hanya 21 hari saja. Panjang hasil galian kali itu mencapai 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan yang dipimpin oleh para Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…). Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman untuk menggali kali Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi sawah dan menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan Tarumanagara.
Setelah kerajaan Tarumanagara runtuh – Kami lebih suka menyebutnya “berakhir” (BBB) - (abad 7), kerajaan yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap Bekasi adalah Kerajaan Padjadjaran, terlihat dari situs sejarah Batu Tulis (di daerah Bogor), Sutarga lebih jauh menjelaskan, bahwa Bekasi merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Padjadjaran dan merupakan salah satu pelabuhan sungai yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Bekasi menjadi
Demikianlah, waktu berlalu, kerajaan-demi kerajaan tumbuh, berkembang, mengalami masa kejayaan, runtuh, timbul kerajaan baru. Kedudukan Bekasi tetap menempati posisi strategis dan tercatat dalam sejarah masing-masing kerajaan (terakhir tercatat dalam sejarah, kerajaan yang menguasai Bekasi adalah Kerajaan Sumedanglarang, yang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram). Bahkan bukti-bukti mengenai keberadaan kerajaan ini sampai sekarang masih ada, misalnya : ditemukannya makam Wangsawidjaja dan Ratu Mayangsari (batu nisan), makam Wijayakusumah serta sumur mandinya yang terdapat di kampung Ciketing, Desa Mustika Jaya, Bantargebang. Dimana baik batu nisan maupun kondisi sumur serta bebatuan sekitarnya, menunjukkan bahwa usianya parallel dengan masa Kerajaan Sumedanglarang. Demikian pula penemuan rantai di Kobak Rante, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukakarya (konon katanya, daerah Kobak Rante adalah daerah pinggir sungai yang cukup besar, hingga mampu dilayari kapal. Jalur ini sering digunakan patroli kapal dari Sumedanglarang. Suatu waktu, kapal bernama Terong peot terdampar disana, sungai mengalami pendangkalan, Terongpeot tidak bisa berlayar, kayunya menjadi lapuk dan tinggallah rantainya saja…)
Bekasi, masa pendudukan Belanda
Melihat sejarah Bekasi pada masa pendudukan Belanda, hampir sama dengan melihat sejarah Indonesia secara umum, karena letaknya berdekatan dengan Jakarta, maka sejarah Jakarta, dari Jayakarta, Batavia, Sunda Kalapa, sampai dengan Jakarta yang kita kenal sekarang melekat erat dengan Bekasi.
Tahun 1610, saat Pangeran Jayakarta Wijayakrama mulai melakukan perjanjian dagang dengan VOC (Verenigde Oost-indische Compagnie/semacam Kamar Dagang Belanda), yang empat tahun kemudian (1614), Gubernur Jendralnya (Van Reijnst) mendapatkan ijin mendirikan benteng di sebelah utara keraton. Tahun 1618, Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen memperluas benteng hingga menjadi bangunan yang kokoh, berbentuk segi empat dimana disetiap sudutnya, ditempatkan meriam yang mengarah ke keraton. Tindakan provokasi dan mengancam ini, menimbulkan amarah Pangeran Jayakarta, yang kemudian menyerang benteng ini. Serangan ini ternyata sudah ditunggu oleh VOC, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Pangeran Jayakarta dengan VOC (April-Mei 1619). Dan sejarah
Setelah menguasai Jayakarta/Batavia (1619), Belanda berusaha memperluas daerah kekuasaannya ke Kerajaan Mataram, karena Raja Mataram mempunyai pengaruh yang sangat besar di Pulau Jawa, upaya ini menimbulkan kemarahan Sultan Agung Hanyorokokusumo.
Pada tahun 1628, Sultan mengerahkan 2 bergodo (setingkat Brigade) angkatan lautnya untuk menyerang Batavia, yang dipimpin oleh Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, serta dibantu oleh Tumenggung Mandureja dan Tumenggung Upasanta. Penyerangan besar-besaran ini dilakukan setelah pasukan Mataram pimpinan Kyai Rangga (Tumenggung Tegal) gagal menguasai Banten pada April 1628. Tumenggung Baureksa membawa 50 perahu perang yang dilengkapi persediaan beras, padi, kelapa, gula dan pelbagai keperluan hidup sehari-hari. Namun, karena jarak dan waktu yang lama, serangan ini dapat digagalkan Belanda karena kalah persenjataan dan kekurangan pasokan logistik pasukan.
Walaupun mengalami kekalahan telak, pasukan Mataram tidak mengendurkan niatnya untuk melakukan penyerangan kembali. Gelombang kedua, pasukan Mataram berangkat ke
Batavia dikepung dari segala penjuru, pasukan Mataram yang pulang dari Banten ikut menutup Batavia dari arah Barat (Kyai Rangga), tetapi sejarah kemudian mencatat bahwa walaupun dikepung dari segala penjuru ternyata Belanda dapat mempertahankan Batavia bahkan dapat memaksa mundur pasukan Mataram ke daerah pedalaman. Kegagalan ini, menyebabkan sebagian besar pasukan Mataram memilih untuk tidak kembali ke Mataram, karena Sultan Agung sudah menurunkan titah bahwa “…akan membunuh (dipenggal kepalanya) pasukan yang gagal melakukan penyerangan, bila kembali ke Mataram..”. Pasukan Mataram ini, kemudian menetap di wilayah Bekasi dan membaur dengan penduduk asli, terutama di sekitar daerah pantai dan di pedalaman, misalnya di Pekopen (konon, Pekopen berasal dari kata pe-kopi-an, artinya tempat istirahat dan ngopinya para tentara Mataram), Cibarusah, Pondok Rangon (konon juga, merupakan pondok tempat bala tentara Mataram mengadakan perundingan dan mengatur siasat penyerbuan, didirikan oleh Pangeran Rangga), Tambun, dan bahkan ada pula yang membuka perkampungan baru, karenanya sangat beralasan bila pengaruh kebudayaan Jawa terasa di sebagian daerah Bekasi. Tentara Mataram yang datang ke Bekasi, tidak hanya berasal dari Mataram saja (Jawa Tengah), tetapi juga ada yang berasal dari Sumenep (Madura, Jawa Timur), Kerajaan Padjadjaran, Galuh dan Sumedanglarang (Jawa Barat). Karenanya di Bekasi terdapat daerah-daerah yang berbahasa Sunda, dialek Banten, Jawa atau campuran. Kedatangan tentara Mataram selain berpengaruh terhadap bahasa, penamaan tempat juga ikut memperkaya khasanah budaya Bekasi, seperti Wayang Wong, Wayang Kulit, Calung, Topeng dan lain-lain. Selain itu ada juga kesenian olah keprajuritan “ujungan” yang menampilkan keberanian, ketrampilan dan sentuhan ilmu bela diri, khas olah raga prajurit.
Bekasi, Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Bekasi, pada masa ini masuk ke dalam Regentschap Meester Cornelis, yang terbagi atas empat district, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan Cikarang. District Bekasi, pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai wilayah pertanian yang subur, yang terdiri atas tanah-tanah partikelir, system kepemilikan tanahnya dikuasai oleh tuan-tuan tanah (kaum partikelir), yang terdiri dari pengusaha Eropa dan para saudagar Cina. Di atas tanah partikelir ini ditempatkan Kepala Desa atau Demang, yang diangkat oleh Residen dan digaji oleh tuan tanah. Demang ini dibantu oleh seorang Juru Tulis, para Kepala Kampung, seorang amil, seorang pencalang (pegawai politik desa), seorang kebayan (pesuruh desa), dan seorang ulu-ulu (pengatur pengairan). Untuk mengawasi tanah, para tuan tanah mengangkat pegawai atau pembantu dekatnya, disebut potia atau lands opziener. Potia biasanya keturunan Cina, yang diangkat oleh tuan tanah. Tugas potiaadalah mengawasi para pekerja, serta mewakili tuan tanah apabila tidak ada ditempat. Disamping itu ada juga Mandor yang menguasai suatu wilayah, disebut wilayah kemandoran. Dalam praktek sehari-hari, mandor sangatlah berkuasa, seringkali tindakannya terhadap para penggarap melampaui batas-batas kemanusiaan.
Distrik Bekasi terkenal subur yang produktif, hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan distrik-distrik lain di Batavia, distrik Bekasi rata-rata mencapai 30-40 pikul padi setiap bau, sedangkan distrik lain hanya mampu menghasilkan padi 15-30 pikul setiap baunya. Namun demikian yang menikmati hasil kesuburan tanah Bekasi adalah Sang tuan tanah, bukanlah rakyat Bekasi. Rakyat Bekasi tetap kekurangan, dalam kondisi yang serba sulit, seringkali muncul tokoh pembela rakyat kecil, semisal Entong Tolo, seorang kepala perambok yang selalu menggasak harta orang-orang kaya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat kecil, karenanya rakyat sangat menghormati dan melindungi keluarga Entong Tolo, Sang Maling Budiman, Robin Hood-nya rakyat Bekasi. Di hampir semua wilayah Bekasi memiliki cerita sejenis, dengan versi dan nama tokoh yang berbeda. Hal ini juga, yang mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat Bekasi, terhadap sesuatu yang berhubungan dengan ke’jawara’an.
Setelah Entong Tolo ditangkap dan dibuang ke Menado, tahun 1913 di Bekasi muncul organisasi Sarekat Islam (SI) yang banyak diminati masyarakat yang sebagian besar petani. Berbeda dengan di daerah lain, kepengurusan SI Bekasi didominasi oleh kalangan pedagang, petani, guru ngaji, bekas tuan tanah dan pejabat yang dipecat oleh Pemerintah Hindia Belanda, serta para jagoan yang dikenal sebagai rampok budiman. Karena jumlah yang cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi kekuatan yang dominan ketika berhadapan dengan para tuan tanah. Antara 1913-1922, SI Bekasi menjadi penggerak berbagai protes sebagai upaya penentangan terhadap berbagai penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan kerja paksa (rodi), protes petani di Setu (1913) sampai pemogokkan pembayaran “cuke” (1918).
Bekasi, masa pendudukan Jepang
Kedatangan Jepang di Indonesia bagi sebagian besar kalangan rakyat, memperkuat anggap eksatologis ramalan Jayabaya (buku “Jangka Jayabaya”, mengungkapkan :”…suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari utara yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya akan memerintah sebentar yakni selama ‘seumur jagung’, sebagai Ratu Adil yang kelak akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan…”
Pada awalnya, penaklukan Jepang terhadap Belanda disambut dengan suka cita, yang dianggap sebagai pembebas dari penderitaan. Rakyat Bekasi menyambut dengan kegembiraan, dan semakin meluap ketika Jepang mengijinkan pengibaran Sang Merah Putih dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya. Namun kegembiraan rakyat Bekasi hanya sekejap, selang seminggu pemerintah Jepang mengeluarkan larangan pengibaran Sang Merah Putih dan lagu Indonesia Raya. Sebagai gantinya Jepang memerintahkan seluruh rakyat Bekasi mengibarkan bendera “Matahari Terbit” dan lagu “Kimigayo”. Melalui pemaksaan ini, Jepang memulai babak baru penindasan, yang semula dibanggakan sebagai “saudara tua”.
Kekejaman tentara Jepang semakin kentara, ketika mengintruksikan agar seluruh rakyat Bekasi berkumpul di depan kantor tangsi polisi, untuk menyaksikan hukuman pancung terhadap pendudukTeluk buyung bernama Mahbub, yang ditangkap karena diduga sebagai mata-mata Belanda dan menjual
Akibatnya, rakyat Bekasi mengalami kekurangan pangan, keadaan ini makin diperparah dengan adanya “Romusha” (kerja rodi). Pemerintah militer Jepang juga melakukan penetrasi kebudayaan dengan memaksa para pemuda Bekasi untuk belajar semangat bushido (spirit of samurai), pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang).
Selain organisasi bentukan Jepang, pemuda Bekasi mengorganisasikan diri dalam organisasi non formal yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB), yang didirikan pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam Bekasi yang setiap malam Jum’at mengadakan pengajian di Mesjid Al –Muwahiddin, Bekasi, para anggotanya terdiri atas pemuda santri, pemuda pendidikan umum dan pemuda “pasar” yang buta huruf. Awalnya GPIB dipimpin oleh Nurdin, setelah ia meninggal 1944, digantikan oleh Marzuki Urmaini. Hingga awal kemerdekaan BPIB memiliki anggota yang banyak, markasnya di rumah Hasan Sjahroni, di daerah pasar Bekasi, banyak anggotanya kemudian bergabung ke-BKR dan badan perjuangan yang dipimpin oleh KH Noer Alie. GPIB banyak memiliki Cabang antara lain, GPIB Pusat Daerah Bekasi (Marzuki Urmaini dan Muhayar), GPIB Daerah Ujung
Bekasi, masa kemerdekaan
Awal Agustus 1945, tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu kian santer terdengar, terutama di kawasan Asia Pasifik. Setelah bom atom “memeluk erat”
Setelah peristiwa ini, esok harinya Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, pk 10.00 WIB di Pegangsaan Timur 56, atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta membacakan Teks Proklamasi, yang kemudian disiarkan ke seluruh pelosok Indonesia. Rakyat termasuk rakyat Bekasi menyambut dengan penuh suka cita. Inilah titik awal untuk membangun bangsa setelah berabad-abad dibawah cengkraman penjajah, menjadi bangsa yang merdeka, wahai…alangkah indahnya !!
Sisi lain kabar gembira ini juga menimbulkan tindakan kekerasan, rakyat melampiaskan kemarahannya yang sudah terpendam lama akibat kekejaman tentara Jepang. Peristiwa pelucutan senjata dan pembunuhan terjadi juga di Bekasi. Peristiwa pembunuhan tuan tanah Teluk Pucung dan penahanan 49 truk milik Jepang pada 25 Agustus 1947 (2 truk bermuatan senjata disita, sedang 47 truk yang berisi tentara Jepang diperintahkan langsung ke
Insiden Kali Bekasi, sebuah epos yang memiliki arti yang sangat dalam bagi Rakyat Bekasi, menggambarkan keberanian Rakyat Bekasi, sekaligus tragis. Kali Bekasi merupakan garis demarkasi antara tentara sekutu (Inggris dan NICA) yang menduduki
Laksamana Maeda protes, meminta pertanggung-jawaban R. Soekanto (Kapolri waktu itu) dan meminta jaminan agar peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi. Bunyi
Peristiwa Bekasi Lautan Api, juga merupakan sebuah bukti catatan Sejarah Perjuangan Rakyat Bekasi, yang banyak merenggut jiwa-jiwa patriotisme dalam mempertahankan kemerdekaan. Bermula dari jatuhnya pesawat Dakota Inggris di Rawa Gatel, Cakung (wilayah Bekasi ketika itu). Rakyat mengepung pesawat, seluruh awak pesawat dan penumpang (4 orang awak pesawat berkebangsaan Inggris dan 22 berkebangsaan India-Sykh, orang Bekasi nyebutnya “tentara ubel-ubel”), ditangkap dilucuti senjata serta pakaiannya, dibawa ke Markas TKR Ujung Menteng(pimpinan Umar Effendi dan Muhammad Amri), selanjutnya ditahan di tangsi polisi Bekasi.
Sekutu kemudian mengirimkan maklumat, kepada pejuang Bekasi (diterima Dan TKR Yon V, Mayor Sambas Atmadinata), isinya : “…segera seluruh tentara Inggris yang ditawan di Bekasi agar dikembalikan kepada pihak Inggris. Apabila tidak dikembalikan, maka Bekasi akan dibumi-hanguskan…”, Rakyat dan Pemuda Bekasi menolak isi maklumat tersebut (gue kagak takut, coy…!) tiga hari kemudian seluruh tawanan dibunuh.
Inggris mengirimkan Batalyon Infantri dan Artilerinya (tentara Punjab ke-1/16, Skuadron Kavaleri FAVO ke-11, Pasukan Perintis ke-13, Pasukan Resimen Medan ke-37 dan Detasemen Kompi Medan ke-69), bergerak dari Jakarta menuju Cakung, melewati garis demarkasi dan memasuki wilayah Kranji. Pemuda dan Rakyat Bekasi melakukan penghadangan di Kampung Rawa Pasung, pintu lintasan kereta ditutup, rakyat Bekasi bersembunyi disemak-semak sekitarnya. Sekutu berhenti, disangkanya ada kereta yang akan melintas, saat lengah, rakyat Bekasi muncul dari semak-semak melumpuhkan pasukan sekutu yang membawa perlengkapan perang modern, bahkan pemuda Bekasi tanpa menghiraukan nyawanya, dengan gagah berani, naik keatas Panser. Pertempuran jarak dekat ini, membuat tentara Sekutu “kedér”, mereka menarik mundur pasukan.
Sekutu kembali menyerang, dengan kekuatan lebih besar, puluhan truk berisi serdadu Inggris dan India (prajurit Punjab dalam dunia militer, terkenal dengan belati “kukri”nya) puluhan panser dan pesawat terbang menyerbu Bekasi. Rakyat Bekasi merubah taktik pertempuran, pusat kota dikosongkan, membentuk pasukan-pasukan kecil yang gagah berani, hit and run dijalankan, gerilya kota dimulai…, karena takut dan tidak menguasai wilayah, serdadu Inggris selalu berkelompok dalam pasukan jumlah besar.
Ketika pasukan Inggris sampai di tangsi Bekasi, mereka tidak menemukan seorangpun pejuang Bekasi, hanya menemukan mayat teman-temannya yang telah membusuk dan sebagian dikubur di belakang Tangsi Polisi Bekasi. Akibat kejadian itu, Sekutu mulai melakukan provokasi dengan melakukan penyerangan secara sporadis, pesawat udara dan pasukan darat melakukan serangan membabi buta, pesawat udara menggunakan bom-bom pembakar, pasukan darat membakari rumah-rumah penduduk.
Kampung Dua Ratus terbakar, kemudian meluas ke Kayu Ringin, Teluk Buyung, Teluk Angsan dan Pasar Bekasi. Bekasi Timur dan Barat berubah seperti “api unggun raksasa”, langit Bekasi menghitam, dipenuhi asal mengepul ke udara, hitam pekat. Pembakaran berlangsung hampir satu malam penuh, paginya hanya menyisakan asap dan debu, puing-puing berserakan. Ibu-ibu, anak-anak dan orang tua berteriak histeris menyaksikan ulah tentara Sekutu. Masyarakat Bekasi mengungsi, tidak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkan harta bendanya.
Peristiwa ini menjadi berita besar bagi pers Nasional maupun Internasional, pers internasional mengutuk tindakan Inggris yang mengibaratkan dengan tindakan Nazi Jerman yang membakar habis
Bekasi, terbentuknya Kabupaten Bekasi
Berdasarkan aturan hukum pada saat itu dan melihat kegigihan rakyat memperjuangkan aspirasinya untuk membentuk suatu pemerintahan tersendiri, setingkat Kabupaten, mulailah para tokoh dan rakyat Bekasi berjuang agar pembentukan tersebut dapat terealisasikan. Awal tahun 1950, para pemimpin rakyat diantaranya R. Soepardi, KH Noer Alie, Namin, Aminudin dan Marzuki Urmainimembentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi”, dan mengadakan rapat raksasa di Alun-alun Bekasi (17 Januari 1950), yang dihadiri oleh ribuan rakyat yang datang dari pelbagai pelosok Bekasi, dihasilkan beberapa tuntutan yang terhimpun dalam “Resolusi 17 Januari”, yang antara lain menuntut agar nama Kabupaten Jatinegara dirubah menjadi Kabupaten Bekasi, tuntutan itu ditandatangani oleh Wedana Bekasi (A. Sirad) dan Asisten Wedana Bekasi (R. Harun).
Usulan tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan menyetujui penggantian nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten Bekasi”, persetujuan ini semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1950 yang ditetapkan tanggal 8 Agustus 1950 tentang : Pembentukan Kabupaten-kabupaten di lingkungan Propinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1950 tentang berlakunya undang-undang tersebut, maka Kabupaten Bekasi secara resmi terbentuk pada tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumah tangganya sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Pemerintah Daerah pada saat itu, yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya, ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Bekasi, bahwa tanggal 15 Agustus 1950 sebagai HARI JADI KABUPATEN BEKASI, dan R. Suhandan Umar (sebelumnya Bupati Jatinegara) sebagai Bupati Bekasi pertama, kedudukan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi tetap di Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta, Jakarta).
Penutup Tulisan
Dalam perjalanannya kemudian, Bekasi mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadi kawasan industri yang men”dunia”, kawasan industri yang tidak hanya berisi pabrik-pabrik, tetapi juga di dalamnya bercokol juga plaza, mal-mal, perumahan, lapangan golf, pusat bisnis bahkan sekolah-sekolah unggulan, dari sejak children play group sampai perguruan tinggi bertaraf nasional maupun international, yang mungkin pada jaman ‘Entong Tolo’ dulu, tak akan pernah bisa kita bayangkan.
Di sisi lain, Kabupaten Bekasi juga kini telah melahirkan seorang putra yang cantik nan rupawan, montok dan moleg, sexy dan mumpuni, bak pemain sinetron yang lagi digandrungi, Kota Bekasi. Kita, masyarakat Kabupaten Bekasi, orang tuanya, selalu berdoa semoga putera ini sehat, pinter, berguna bagi nusa, bangsa, agama dan bangsanya, dan tidak menjadi Malin Kundang bagi orang tuanya….
Dengan terbentuknya Kota Bekasi, kita harus mampu menggali nilai-nilai kesejarahan yang ada di wilayah kabupaten (tanpa harus meninggalkan kebersamaan sejarah dengan kota), untuk dapat meningkatkan rasa kebanggaan dan rasa memiliki yang tinggi, sebagai warga masyarakat Kabupaten.
(sumber humas kab. bekasi blog).
________________________________
Tulisan ini diambil dari sumber yang tersebut di atas secara keseluruhan, Kami hanya sedikit menambahkan apa yang Kami rasa perlu tanpa bermaksud merubah keaslian tulisan ini. Kami hanya berniat membagikan dan meneruskannya kepada Anda pembaca sekalian. Semoga ini bisa bermanfaat, bagi Anda dan Kami pribadi khususnya. Bersama ini juga Kami memohon izin kepada para sumber yang telah banyak berjasa dengan membuat tulisan ini dan mohon dimaafkan bila Kami telah lancang memuat tulisan ini tanpa izin sebelumnya. Terimakasih. BETAWI BEKASI BERSATU.
BETAWI BEKASI BERSATU
Cukup menarik untuk menambah wawasan ttg sejarah bekasi. Cuma sayang kurang didukung foto2 tempo dulu ttg bekasi?
BalasHapus